Ceritaku Ceritamu

October 08, 2011




Siapa aku? Aku siapa?

Sepasang pertanyaan yang lugas tapi sulit untuk diretas apa jawabnya. Cukup rumit karena kita hanya memegang cermin satu sisi. Namun, bukan kita yang melihat bayangan itu, orang lain yang menilai kita. Aku kurang mengerti, apalagi mengenal siapa aku. Hanya tahu beberapa serta jauh dari kata sempurna. Dalam “aku” tersusun aku, raga, serta hati ini.

Dengan raga, dalam indera, aku adalah saat ini. Seorang lelaki, kurus, lengkap dengan wajah yang belum berubah sejak Tuhan menciptakannya. Sebatas itu saja sebab mata memang hanya bisa melihat yang kasat, sementara di lain sisi, imajinasi lebih banyak merajut alibi.

Dengan hati, dalam rasa, aku adalah akibat –bukan sebab. Ya, pengalaman yang membentukku hingga kini. Oleh beberapa cerita manis, namun yang lain mengharu biru. Aku lebih melankolis dari biasanya saat sesuatu yang tak biasa datang. Aku lebih senang menyendiri daripada berkumpul tanpa mendapat sebuah arti. 

Apalagi sejak ayah tiada, semakin banyak pula waktu yang kupunya untuk merenung, mengurai takdir yang digariskan Tuhan. Mungkin benar, manusia hanya berusaha, tapi Tuhan-lah yang menentukan. Kita tak lebih dari pemeran di mana jalan cerita tak berada di tangan.

Dahulu, sempat kuingat seorang teman pernah menganalogikan aku seperti buah merah itu, strawberry. Ya, buah menyala itu menarik, namun sulit diterka apakah manis atau masam rasanya –disederhanakan susah ditebak. Barangkali, aku lebih suka disebut kopi. Filosofi kopi tentang bagaimana seduhan itu semakin dipanaskan, semakin wangi saja. Tak perlu berdebat. Aku lebih percaya dinilai daripada menilai.

Di zaman yang kurang waras ini, berjuta orang memakai topeng. Begitu juga aku, hanya saja topeng kami berbeda-beda. Misal, topengku bernama Idham Padmaya Mahatma. Entah apa atau bagaimana makna nama itu, bagiku tak begitu penting. Hidup itu sederhana, seperti matahari dan siang, bulan dan malam, serta cinta. Ya. Seperti halnya sepasang kalimat tanya tadi, kata sederhana ini juga terlampau sukar tuk diarti. Mungkin itu bahasa Tuhan atau memang manusia tak cukup pandai untuk mengurai. Gara-gara cinta, aku bisa seperti bunga matahari yang selalu mengejar sinar matahari, seorang spesial saat itu: matahariku. Aku begitu mengagumi paras serta jalan pikirannya dalam menghadapi sebuah masalah hingga aku mati-matian ingin seperti dirinya. Aku buta dan tuli, tak sadar bahwa selama ini hanya bayang-bayang yang kukejar. Sampai akhirnya aku jatuh tersungkur dan hati ini bertanya: apakah dengan menjadi seperti dia lantas aku dicintai?

Masih banyak analogi kolot lain yang jengah aku membukanya. Cukup di otak putih ini saja. Hidup itu sederhana, setiap manusia pasti punya cerita, raga, serta cinta. Genggam itu sebelum berubah kelam. Karena kita bukan dipilih, tapi memilih. Titik. 
(IPM)

Bandung, Juni 2011
 #Ilustrasi diunduh dari sini



Followers