Nirwana dalam Seraut Wajah

October 17, 2011


Terkadang orang yang mencintaimu adalah dia yang tak pernah menyatakan cinta kepadamu...

MENUNGGU April lewat di selasar gedung kuliah tua ini. Tak seperti biasa, dia lama sekali. Mungkin tidak masuk kuliah atau jalan lain yang dia pilih ketika aku coba menanti.

April adalah sahabatku yang setia. Setia mendengar ocehanku serta segala bahan cerita lain yang selalu kulemparkan begitu saja kepadanya. Dari topik ringan, keluarga hingga sketsa para kekasihku yang kini hanya menguap menjadi torehan kisah. Memang lebih dominan kisah sedih pada ujungnya, namun itulah perjalanan cinta. Pernah aku memaksa April untuk memberi petuah tentang bagaimana cara memahami wanita. Mungkin saat itu rasa frustasi begitu besar merajai hati hingga gelap rasanya mata ini. Yang lalu biarlah berlalu. Semakin banyak cerita, semakin kaya pula memoriku tentang cinta.
 

Aku masih termenung. Menantimu sendiri hingga membawa pikiran ini melayang ke relung waktu silam. Aku ingat benar saat malam buta nan dingin, aku tergesa-gesa berlari menuju rumahmu.

“Pasti ada masalah ya? Tentang Renata lagi?” sahutmu.

Dalam lelah aku berkisah tentang Renata, gadis jelita yang sebulan ini intens mengisi lembar demi lembar dalam hati serta merengkuhkan sandaran jiwa padaku.

“Dia istimewa, aku sungguh kagum padanya,” unggahku mengawali cerita.

Aku terus meretas kisah hingga April tahu siapa bidadariku ini, meski belum pernah ia jumpai. Dia menorehkan kesan, gigi miji timun, berhidung mancung, dan tak neko-neko.” Kau tahu, dia hampir sempurna sebagai seorang wanita...” pungkasku.
***

LENGAN kemeja kusingsingkan hingga siku. Cukup panas kota kembang saat siang akhir-akhir ini. Tak seperti dulu kala harus berbaju tebal ketika hendak ke luar rumah. Pernah suatu ketika paman akan pergi di ujung siang. Namun, dia memutuskan untuk tetap tinggal karena hawa dingin kota kenangan ini yang merasuk berebut tempat di setiap sendi.

Di tengah terik mentari, aku mengajakmu berjalan menyusuri sudut kota ini guna mencari hadiah. Bukan untukmu, tapi untuk tuan putri baruku, Renata. Sampai akhirnya kami mengarahkan pandangan ke dalam toko pengrajin logam perak.

“Bagaimana kalau sebuah liontin?” celetukku.

“Lumayan berkesan. Apa bentuknya? Singkatan nama kalian? Gambar hati? Atau apa?” kau bertanya.

“Angka delapan,” ujarku singkat.

“Apa? Mengapa?”

“Kuceritakan nanti saja saat waktunya tiba...”
***

PERCAKAPAN tadi berakhir dengan tanda tanya di hati. Tentang bentuk liontin serta alasan pemilihannya. Begitulah Atma, lelaki misterius sahabatnya. Jalan pikirannya tak bisa ditebak. Aneh terkadang kurasa. Pernah dia memintaku berlaku selayaknya pria dan dia sebagai wanita.

“Tak perlu menjadi wanita jikalau ingin memahaminya...” jelasku padanya.

Di tengah kantuk dan letih yang melanda, April teringat pada sahabat lelaki satu-satunya itu, sedang apa dia sekarang? Tak biasanya dia belum terlihat di depan rumah minggu pagi begini. Maklum, kebiasaan Atma adalah benar seperti itu. Menumpahkan buritan cerita selama seminggu kepadanya, meminta saran atau masukan serta membagi beban masalah hidup.

Namun, minggu ini berbeda. Tak ada uraian kisah, tak ada berbagi masalah, tak ada Atma. Di manakah dia?
***

DI ufuk senja, kau menghubungi lewat ponselmu. “Maaf pagi ini tak sempat datang. Aku sedang di luar kota menemani Renata mencari bahan kuliah,” singkat saja pembicaraan itu kauakhiri. Kukira kau sudah berada di jalan yang seharusnya untukmu bersama dia yang kaucinta.

Caramu memperlakukan wanita juga mulai berubah sejak ditinggal pergi Viona, kekasihmu saat itu. Viona sangat baik kukenal. Kami satu fakultas di kampus juga tak sering kami belajar bersama apabila mendapat tugas yang sama. Hanya saja dia tak tahu bahwa rahasia kalian ada pada genggaman ini jua.

Viona benar-benar mengajarimu akan sebuah pengertian bahwa wanita tidaklah meminta, tapi menunggu. Kau terlalu lama memberi kepastian hubunganmu. Hingga Viona tak sabar lalu menguap menjadi beberapa lembar diari ini. Syukurlah kau sadar. Kau mengerti.
***

KAMI memang tak terlihat akrab di kampus atau tempat umum lainnya. Kau juga segan mengenalkanku ke teman-temanmu. Seperti orang lain saja kami di luar sana. Kau dengan kesibukanmu, sedangkan aku bergelut dengan segala problematika hidup yang bersamamu akan temui jalan keluarnya.

“Aku cukup di belakang layar saja,” lanjutmu.

Aku tak punya pilihan. Bila itu pintamu, aku akan mengiyakan. Tak penting orang lain mengetahui status kami sebagai sahabat, sama tak pentingnya ketika aku memintamu untuk menjadi pacar pura-pura ketika di waktu silam ingin membuat Widya terbakar api asmara. Namun, urung itu semua.
***

TIGA hari lagi genap setahun mereka menjalin kasih. Hadiah yang jauh hari kausiapkan juga telah hangat. Penuh dengan harapan sera helah kasih sayang yang kautumpahkan dalam simbol itu.

Tiga bulan pertama, kalian memang saling bertengkar. Belum menyamakan prinsip serta jalan pikiran. Seperti biasa, akulah dewi asmaramu. Wajar, sebuah hubungan haruslah mempunyai sisi seperti itu. Bukankah pelaut ulung tak lahir pada perairan yang tenang? Bukankah dia ditempa menjadi hebat pada perairan berombak tinggi dan kejam?

Identik halnya tentang hubungan. Kualitas hanya bisa didapat stelah mampu melewati segala perbedaan. Dua kali kau bertengkar hebat. Dua kali pula rasa sayang kalian semakin erat.

Sampai akhirnya kau datang ke rumah malam itu. Bukan hari minggu, tak jua aku mengundangmu. Wajah itu tak asing kuterka apa arti ekspresinya. Pasti ada masalah yang akan dia lontarkan kepadaku malam ini.

Aku terkejut. Hati ini seakan bergolak mendengarnya. Kau mengaku putus cinta dengan Renata. Ada apa sebenarnya?

“Kali ini aku tak perlu menanyakan pendapat kepadamu. Aku cukup dewasa untuk mengambil keputusan ini,” jawabmu.

Belum jelas apa perkataannya. Hingga sebuah jawaban akhirnya terungkap seiring bertambahnya kapasitas cerita. “Renata telah mendua bersama lelaki lain. Begitu lihainya setahun ini dia mengenakan topeng.” Jawaban itu kudapat secara implisit dari percakapan kita.

Aku memandangi air mukamu dalam. Ada kesenduan yang pekat kurasa. Sedih karena putus cinta atau sesal tak berujung dalam memorimu tentang Renata.

“Ironis kisah cintamu kali ini...” dalam hati kuberbisik.

Suasana mengambil alih hingga tak tahu siapa yang memulai, mereka berdua berpelukan. Sejenak momen itu sebagai jeda penenang. Untuk Atma, untukku.
***

BERGANTI posisi, kini saat sabtu malam tiba, akulah yang melempar pikiran ke arahmu, April, sahabatku. Dalam setengah sadar, aku melihatmu berjalan menujuku, membawa senyuman indah, jelujur daun berjuntai jemarimu serta tarian lembut kata-kata. Indah, bukan?

Apa yang salah dengan otakku malam ini? Mengapa bukan yang lain dalam khayal semuku? Benarkah aku jatuh cinta? Seketika malu menyeruak dalam dada menyesakkan segala rasa.

Aku mencoba berpikir jernih akan masalah ini yang tak mungkin terbagi kepadamu. Mana mungkin aku bercerita padamu jikalau aku sedang jatuh cinta. Apalagi pemerannya bukan aku dan permaisuri hati di sana, tapi kau, yang dipilih oleh hati ini adalah engkau.

Mustahil aku menjadikanmu sebagai kekasih. Aku menganggapmu sebagai teman istimewa yang suci dari rasa cinta. Kami juga berikrar tuk menjadi sahabat selamanya. Tapi kali ini aku harus melupakan ikrar itu dan membuat ikrar lain denganmu. Semoga kau mau.
***

MINGGU pagi aku datang ke rumahmu. Kau tak curiga. Meski sebenarnya aku lebih rapi dari biasanya. Aku sengaja tak masuk ke dalam. Di teras ini saja.

“Sebenarnya...” aku menata kata demi kata yang biasanya mudah terurai begitu saja.

Lantang kuucap dengan dengan mata terpejam dan telinga yang tertutupi oleh jemari, “Aku mencintaimu...”

Kau tercenung. Cukup lama kurasa kau mematung.

Tak perlu kaujawab. Aku juga tak memaksa. Aku malu.

“Kau tak sopan. Ulangi!” katamu memintaku.

Aku tak mengerti.

“Tak sopan mengatakan cinta dengan mata terpejam serta telinga tertutup. Ulangi!”

Kali ini aku yang diam. Kuulangi bagian tersulit itu dengan menuruti semua pintamu.

Tapi pandanglah, kau kini tersenyum. Ada damai terasa di sini, di dalam hati yang kini terlengkapi lagi.

Kini dan nanti kau adalah sahabatku, kekasihku. Dalam wajahmu kulabuhkan nirwanaku, berbalut sejuta kasih, berbuih harum nan mewangi...
(IPM)

Bandung, Oktober 2011
 #Ilustrasi diunduh dari sini

Followers