Elegi Sebuah Simfoni

January 24, 2012


Binatang bersayap indah itu hanya terdiam. Kaku. Tak banyak bergerak. Seperti mati. Kusentuh perlahan dengan nada berirama. Berpindah lalu terbang manghilang. Membawa segala beban yang mungkin terajut sempurna di punggungnya. Kupu-kupuku mungkin berlain cerita. Tak sanggup melayang. Terberatkan oleh gravitasi yang selalu menarik ke bawah. Berlipat. Hingga akhirnya terbaring dan mati.
           
Sebait cerita pendek yang kian berkesan mewarnai hati yang sedang terpecah belah ini. Oleh asmara yang senang mempermainkan emosi. Yang membuat hati terasa mati suri. Tak tahu tentang apa yang dicari. Menjemukan. Namun, rindu apabila tak melakukan.
 

Lesatan bintang jatuh di langit malam sebuah restoran tiba-tiba menyadarkanku dari lamunan sepi ini. Sudah tiga jam berlalu. Cangkirku yang berisi coklat hangat pun sudah tak tampak penuh lagi. Tamu-tamu restoran juga telah datang dan pergi. Hanya aku. Ya. Aku yang tetap di sini. Menunggu Armand, kekasihku. Tadi siang dia berjanji untuk datang. Tapi sampai sekarang belum juga terlihat dari kejauhan.

“Mungkin Armand sibuk...” gumamku.

“Atau dia lupa akan janjinya...”

Sudah kucoba hubungi beberapa kali handphone miliknya. Tak jua ada yang menjawab. Tak diangkat. Tragis memang malam ini. Malam-malam sebelumnya juga. Masih karenamu dan segala tingkah laku. Seakan mengaduk segenap emosiku. Dan mungkin selalu terulang hingga menuju sebuah kebiasaan.

“Rasanya malam ini saputanganku akan basah lagi. Terpakai tuk usapi seribu air mata yang jatuh berganti. Mata ini pun akhirnya lembam. Cukup merah. Tak apa. Memang hidup harus punya cerita,” batinku menyanggah.
***

Armand datang pagi-pagi dengan mobil sedan itu. Membawa beberapa tangkai mawar putih tanda permintaan maaf. Sebenarnya dia belum berucap sepatah kata pun. Namun, aku sudah bisa menerka maksudnya. Bukan kejutan menurutku. Dia memang seperti itu dari dulu hingga nanti. Meski harapku dalam sanubari dia bisa berubah.

Mobil itu melaju membelah jalanan ibukota yang cukup padat oleh kendaraan. Selalu seperti ini rute menuju kampus kami. Membosankan. Tak ada yang perlu disalahkan. Mereka punya kepentingan masing-masing yang tak bisa ditinggalkan. Menjemukan.

Hari ini ada praktikum yang tak boleh gagal lagi. Di mana teman yang lain sudah beristirahat ria, aku masih harus mengulang praktikum ini. Sungguh sial. Pacar yang aneh, jalanan macet, dan remedial praktikum. Sempurna hari ini. Karena hanya sendirian, terpaksa aku harus gabung dengan kelas dari fakultas lain. Jadilah aku praktik bersama kelas kimia. Meski harus terpisah dan disediakan seorang analis khusus.

Dua jam berlalu. Praktikum akhirnya selesai. Sangat lega. Seperti melayang jiwa ini. Padahal dalam hati belum tahu berapa nilai yang didapat. Tapi tak apa. Akhirnya lewat juga.

“Maaf, apa benar Anda mahasiswi farmasi yang tadi ikut praktikum di lab kimia?”


“Iya benar. Ada apa ya?”

“Apa ini barang Anda? Tadi tertinggal saat kelas selesai. “

“Ya ampun. Bodoh sekali aku ini. Buku catatan sepenting itu bisa tertinggal,” ujarku dalam hati.

“Kok diam? Benar tidak ini barang Anda?”

“Iya benar. Benar sekali...”

“Ya sudah. Ini bukunya. Emm...Hannah...Hannah Puspita...” dia membaca tulisan kecil di sampul bukuku.

“Iya. Itu nama saya. Maaf kalau boleh tahu, nama Anda siapa?

“Ray...”

Okay. Terima kasih banyak ya, Ray.”

“Sama-sama. Kali lain jangan ceroboh lagi,” tutupnya singkat sambil berlalu dari pandanganku.

“Cowok yang cukup berkharisma. Tanggung jawab pula. Andai Armand seperti Ray pasti hidup ini akan terasa semakin bermakna,” pungkasku dalam hati selagi bermimpi.
***

Bandung sore ini hujan lebat. Sesekali guntur juga terdengar dari kejauhan. Saling menyambar seakan tak mau kalah. Kuliah hari ini cukup melelahkan. Ingin cepat pulang ke rumah tapi hujan turun dengan derasnya. Menunggu reda. Huh...

“Hai... Cewek farmasi yang waktu itu kan?”

Apaan sih kamu? Aku punya nama tau,” celotehku setengah terkejut.

“Iya. Hannah Puspita kan?”

Lha, kok kamu ingat?”

“Jelas ingat. Cewek ceroboh mana lagi yang suka ninggalin buku catatan sepenting itu di laboratorium. Ya, mana mungkin aku bisa lupa.”

“Wah. Nyindir nih kamu.”

Hayo. Kamu ingat nggak siapa namaku?”

Aduh. Aku lupa. Bagaimana ini Tuhan?” doaku sambil mengingat-ingat nama itu.

“Ray Jusuf Herlambang...” tak sengaja aku membaca sebuah tulisan kecil di sampul textbook yang dia bawa.

“Canggih kamu. Tahu dari mana nama lengkapku?”

“Tahu dong. Hannah gitu...” kataku sambil tersapu malu.

Kami pun menunggu hujan lebat itu reda berdua. Beramai-ramai sebenarnya. Namun, kurasa yang lain tahu dan sengaja memberikan ruang tuk kami berdua. Hujan, tebakan nama, dan hawa dingin. Sangat romantis. Ditambah jaket kulit hitam miliknya yang sengaja dia rebahkan di punggungku. Rasanya lumayan hangat badan dan perasaan ini.

“Mungkin malam ini aku tak akan bisa tidur. Terbayang-bayang terus...” tambahku tersenyum.
***

Hampir tepat lelucon kemarin. Semalaman aku benar tak bisa memejamkan mata. Terus teringat akan momen istimewa itu. Rintik hujan. Deru air yang mengalir. Hawa dingin kota kembang. Semua bersenyawa menjadi satu. Cukup sempurna. Tapi sayang, hari ini aku kesiangan. Armand yang menjemputku ke rumah juga rasanya sedikit kesal. Menungguku cukup lama dan tak kunjung keluar.

Aku duduk di jok depan. Di sebelah Armand yang cukup serius mengemudi. Aku juga sudah minta maaf akan kejadian tadi pagi. Seperti biasa, dia hanya datar. Tak banyak ekspresi dari wajahnya. Armand melirik jaket kulit asing yang kupegang erat dari tadi dengan ujung matanya.

“Itu jaket siapa? Jaket barumu?” tanyanya ingin tahu.

“Bukan. Ini jaket titipan teman sekelas, anak farmasi juga. Kemarin tertinggal sewaktu kerja kelompok di rumahku.”

“Oh gitu...” tutupnya datar.

Aku terpaksa berbohong karena Armand tipe cowok posesif. Pencemburu. Terkadang sedikit liar pemikirannya. Dia juga terlalu ramah pada semua wanita. Merasa tak adil saja. Armand punya pacar tapi juga tak jarang jalan berdua dengan wanita lain. Sampai detik ini aku hanya diam. Menahan sakit hati. Memendam dan terus menumpuk. Mungkin suatu saat nanti rasa ini akan meledak hingga tak bisa seperti sedia kala lagi.

Aku juga tak tahu mengapa kami berikhrar menjadi sepasang kekasih. Sudah lupa dahulu siapa yang pertama mendekati. Entahlah. Masa-masa manis itu rasanya telah mati. Tertutupi segala macam perih. Olehmu. Oleh kita. Juga para selir-selir semu yang berada di sampingmu. Aku tak banyak tahu. Tak mau tahu juga. Malas aku menperdebatkannya. Yang kutahu kau milikku saat bersamaku. Saat tak bersama tinggal nuranimu yang bicara. Kami juga tak diikat dalam tema apa pun. Tak ada cincin di jemari kami. Tak ada janur melengkung atau juga penghulu yang menyuarakan janji suci sebuah pernikahan.

“Ya. Kita masih belajar. Belajar mencintai atau jua menyakiti...” desahku.
***

Roda kehidupan perlahan tapi pasti mulai bergerak ke arah yang lebih terang. Semakin baik saja. Sudah jarang rasanya mata ini menangis. Mungkin terkadang air mata memang tak bisa ditahan tuk menetes. Tapi sungguh berbeda dengan dahulu. Air mata bahagia dan cukup memberikan cerita. Berkesan. Ya. Karena kamu, Ray Jusuf Herlambang. Hampir setiap malam dia menghubungiku. Sekadar mengirm pesan singkat berisi ucapan selamat malam atau menelepon hingga lupa akan waktu berjalan. Semua terasa begitu singkat. Itu karena kami sangat menikmati. Sempurna.

Ray juga sangat perhatian. Kalau aku lagi kosong dan tak melakukan sesuatu yang berarti, dia kadangkala meluangkan waktunya untuk berkunjung ke rumah. Cukup nekat. Tapi aku suka.

“Tidak. Aku tidak suka Ray. Mungkin lebih dari itu. Aku mencintainya. Cinta yang datang begitu saja. Tidak ada dari kami yang mengundangnya. Cukup bimbang...”  pungkasku seraya menata luapan emosi bahagia.

“Lantas? Apa kabarnya dengan Armand?” hatiku bertanya.

Armand sedang sibuk dengan kuliah serta kehidupan malamnya yang semakin parah saja. Hampir tiap akhir pekan dia pulang menjelang pagi. Mabuk oleh minuman beralkohol serta seringkali tak sadarkan diri. Orangtuanya juga sangat khawatir dengan pola hidup Armand, anaknya.

Hanya bersenang-senang dengan dunia fatamorgana yang apabila sudah terjatuh maka sulit tuk berdiri lagi atau bisa jadi tenggelam dalam sumur hitam tanpa dasar. Armand kini sangat berbeda dengan yang dahulu. Lebih berbahaya serta sangat labil. Namun, aku akan berusaha setia padanya. Aku tahu dia sebenarnya anak baik. Mungkin hanya pelarian atau pengaruh lingkungan yang buruk saja hingga membuatnya seperti saat ini.
***

Semakin parah saja kelakuan Armand sekarang. Tattoo di tubuhnya juga semakin bertambah. Sudah mirip kain batik saja tangan itu. Terpenuhi hingga tak ada celah lagi. Badannya juga semakin kurus. Entah pola makan yang tidak diatur atau benar adanya kabar burung yang menyebutkan bahwa dia sedang menjalin hubungan dengan barang haram itu. Ya. Narkotika. Lengkap sudah penderitaanku. Sangat lengkap dan hampir sempurna. Aku juga sering mengangkat cerita ini pada Ray. Tapi Ray hanya diam. Kurang bereaksi dan cenderung melempar kalimat-kalimat litotes. Cukup aneh lagi tak biasa. Ada apa sebenarnya dengan semua?

Berganti hari Ray semakin giat mengikuti latihan sebuah pementasan musik Jazz di kampus. Tak banyak yang tahu jikalau Ray adalah salah satu bagian dari grup itu. Dia pegang saxophone dan segala harmoninya. Maskulin. Sangat mempesona saat dia memainkan dengan cantik jemarinya. Alunan nada yang indah serta mengalun mesra.

Hari pementasan tiba. Ray tampil beberapa kali bersama grup Jazz itu. Bersinergi dengan yang lain hingga membentuk sebuah musikalisasi romansa yang indah.

“Angkat topi untuk mereka...” teriakku bersemangat.

“Khususnya untuk Ray...” dalam hatiku menambahkan.

Belum selesai sampai di situ, di akhir acara ternyata Ray main solo. Sendirian. Membawakan lagu pop romantis yang tak biasa dia mainkan. Lagu My Valentine milik Martina McBride dia senandungkan dengan sangat apik. Menyentuh meski sekadar instrumentasi. Rangkaian irama pun berakhir. Tiba-tiba Ray berjalan mendekati sebuah microphone dengan penyangga yang berdiri tegak.

“Tuk kekasih sejati aku di sini. Terima kasih...” sepenggal kalimat terakhir lalu pergi.
Tak mengerti makna apa yang dia katakan. Namun, menorehkan kesan.

Karena kelakuan yang begitu gila, Armand akhirnya drop-out dari kampus. Dia tak pernah masuk. Tak pernah muncul lagi. Dari teman dekatnya terpatri kabar bahwa Armand kini mendekam di hotel prodeo tersandung kasus penyalah gunaan narkotika dan kekerasan. Tragis memang. Aku  hanya menangis. Tak tahu harus melakukan apalagi. Dia kini sudah menjadi orang lain bagiku. Sudah bukan Armand lagi. Asing. Kisah kami juga kurasa telah kandas. Terkubur oleh sebongkah masalah serta melaju bersama perahu kertas menuju hilir arus muara. Sangat rumit dan tak lagi mungkin dapat terurai.

Hubunganku dengan Ray lambat laun mencapai tahap yang serius. Kami pun resmi menjadi sepasang kekasih. Aku tak punya alasan saat Ray datang dan memainkan instrument lagu yang sama kepadaku. Hanya saja saat itu hanya untuk aku. Di penghujung dia berbisik pelan.

Would you be my valentine?” tanya Ray sambil menatapku.

Aku hanya mengangguk. Memejamkan mata seraya tak percaya akan sebuah mimpi indah. Terlalu indah hingga bibir ini tak dapat lukiskan sepatah kata.

Hari-hari yang semakin berwarna. Pelangi di setiap pagi dan gemintang di malamnya. Kau memang istimewa Tuhan dengan semua jalan cerita.


Selamat tinggal elegi. Kini kau telah mati. Termangut sepi yang abadi. Tinggalkan kami berdua bersama simfoni yang mengalun indah. Dari kami Ray-Hannah.
(IPM)

Bandung, Juli 2011
 #Ilustrasi diunduh dari sini

Followers