Lembayung Gulita

January 13, 2012


PELANGI itu sangat memesona, berantai serampai warna, mengolah sketsa indah di atas langit sana. Kau tak menyadari, entah karena tak suka atau menganggap fenomena itu sebagai hal yang biasa.

“Lihatlah! Ini indah, bukan?” teriakku padamu, hanya saja tak kulisankan. Aku bergumam.
 

Ya. Aku sadar bahwa kau tak sanggup menatap cahaya lagi, kala lampau, mungkin nasibmu yang kurang bersambut. Seharusnya kau yang menjalinku kini, bersama untuk tunaikan tugas sebagai sepasang insan. Namun, semua berbalik, kembali ke suatu ruang yang disebut kehampaan. Kau masih terlihat, tapi tak sanggup melihat. Batinku sepah tinggalkan jasadmu sendiri. Apa daya, aku harus bisa.
***

AKU lahir kembali, setelah hibernasi karena sebuah kesenjaan, mengalami tragedi yang tiada pernah terbayangkan. Kehilangan indera penglihatan serta segulung rajutan kenangan. Aku lupa segalanya.


Indera ini masih berpasang dengan serasi. Tetap melekat dalam wajah serta memagut harap tentang sebuah simfoni rasa. Hanya saja, hitam dan putihnya tak lagi bersama, hingga tak mampu menangkap cahaya, meneruskan secerca bayang menuju relung kelam, tak bertepi dan berteman sepi abadi.

Bersama gelap aku mulai berkisah tentang kenangan. Katamu, dulu aku seorang penulis, seorang yang tampan dengan segenap kharisma. Menulis kala hati sedang gundah, mengukir kronologi di balik goresan tinta, serta menyulam angan tentang masa depan dari balik khayalku, sebelum kemudian aku membaca ulang karya-karyaku agar aku tetap melagu dari balik dinding kamar ini. Kamar dengan beribu nostalgia akan imajinasi dan naungan. Dari sini aku ingin pergi, kembali.

“Dunia ini bernyawa, bukan?” aku bertanya pada sepi.

Sepi itu tak berlisan, tak bertelinga sehingga hanya bisa menyerap gelombang sedih tanpa pernah membalas ataupun menyalahi. Aku mulai berteman baik dengan sepi, bercengkrama gunakan bahasa kami, dengan tatapan mesra tanpa sebuah asa akan bersua. Aku mulai sedikit gila.
***

UNTUK membuatku kembali, beberapa manusia asing yang mengaku sebagai orangtua mengenalkan aku tentang cerahnya dunia baru. Dunia kesedihan yang di dalamnya kami bebas berekspresi sesuka hati, menangguhkan angan setinggi-tingginya, serta menyambut hangat sebuah kompetisi sunyi. Di sini kami senasib, tertawa bersama, sedih sedikit luntur karenanya.

Teman itu sangat istimewa jikalau kau menyadari seni filosofi. Saat semua hampa, Tuhan dan teman layaknya sebuah sahabat, sangat dekat. Seakan malaikat, mereka bersayap, berperi dalam setiap nadi, membagi rasa gembira bagi setiap insan, termasuk kami. Sejenak, hidupku kembali berarti.

Tinggal di “negeri gila” lambat laun merubah beberapa paradigma. Aku bersyukur bisa hidup di negeri ini, memiliki banyak teman senasib di mana tak dapat membedakan ilusi, tak peka dengan indera mata, serta sedikit tuli karena telinga terlalu sesak akan alunan nada.

Temanku tak hanya gelandangan atau pengais kesedihan, mereka bertitel sarjana, magister, doktor, beberapa bahkan profesor. Sayang, mereka buta. Aku bertanya tentang titel yang mereka dapatkan. Apakah itu arti sebuah kerja keras? Apakah itu hadiah bagi seorang tunanetra yang tetap bersabar? Atau juga pemberian dewa karena telah menjaga kelestarian sesama? Jawabnya satu, abu-abu. Tak tahu.

Intelektual di negeriku memiliki mental baja. Jutaan rakyat merana, mereka hanya bertolak pinggang mengacungkan tangan tanda berkuasa. Kala harus merancang undang-undang baru, mereka lebih memilih kencan dengan putri mimpi, tertidur pulas di tengah hamparan merah sebuah musyawarah. Jikalau harus memutuskan suatu kasus, mereka hanya berjudi, salah atau benar tak masalah, karena ini semua hanya sandiwara. Berjuta manusia sanggup melihat semua, tapi tak bertaji mencegahnya. Karena harta, materi, dan kekuasaan semua menjadi lupa, amnesia serta bersahabat dengan para kaum yang disebut memiliki bibir paling indah. Janji manis tapi akhirnya selalu tragis.
***

SEKARANG aku telah terlanjur basah, masuk dalam lingkaran kesunyian bersama mereka. Mereka yang bersemangat serta memberontak haus akan kekuasaan. Sejujurnya aku tak mau masuk dalam golongan itu, tak jua mereka yang mau tak mau harus distandarkan dengan kami yang hina.

“Kami tak hina!” berontakku membangkitkan gairah. Rekan sesamaku kini seakan mati suri, mulai meramalkan nasib dengan berbagai cara, meminta wejangan kepada beberapa paranormal atau termangu sendiri di sela kamar dalam gulita sunyi.

Paranormal favoritmu akhirnya mati. Meninggalkan jasad kaku serta bederma dengan binatang tanah sebelum akhirnya menghilang. Gugur bersemayam memberatkan sesamamu. Beberapa orang menangisi, meratapi, serta bertanya mengapa bukan seseorang lain saja yang pergi, tapi buatku itu masa bodoh karena aku tak mengerti jalan pikir kalian, mereka, atau semua yang percaya akannya.

Katamu, dia bisa melihat masa depan, mendengar semua masalah orang, serta menyelesaikan segala layaknya Tuhan. Tapi dia telah menguap, habis tak bersisa. Aku mulai khawatir denganmu. Kau harus mengubah paradigma, karena yang terdahulu telah sia-sia, legam tak bersisa.
***

KUTAWARKAN kepadamu serta teman sesama kita tentang sebuah opsi. Mengalirkan hidup layaknya insan tak bertanggungjawab atau bergolak menjalani asa dengan segala harap. Hidup ini pilihan, bukan?

Tak ada yang berani menjawab, semua membisu. Kini, aku sukar membedakan mana teman mana musuh, karena kalian sejawat. Akhir dunia ini sebenarnya tidak terlalu lama, beberapa ahli ilmu telah menguap begitu saja, entah ke mana, mungkin Tuhan menyelamatkan mereka dari kaum yang hina, atau membawanya ke dimensi lain yang lebih pas sebagai tempat tinggal mereka. Segala perbuatan adalah meragu, antara benar ataupun keliru, semua rancu, terkadang jua persis sama sehingga mengira kita pahlawan tanpa dosa. Namun, setelah pengadilan agung digelar, kita tak lain adalah mereka yang buta. Sama.

“Lihatlah Tuhan! Aku mulai menulis lagi, meski kini tak bisa aku membagi dengan ciptaan-Mu yang lain, karena aku hanya mengigau, menjalin kisah ini itu dalam lamunan sadarku,” ujarku pada senja.

Telah kubuktikan disabilitas hanyalah sebuah kata dalam kamus tebal yang bagiku kini tak lagi cukup berarti. Aku mulai menyamai segala kompetisi, tak menyerah pada roda nasib, meski kutahu aku tak secemerlang dulu, namun inilah aku yang baru. Aku sejati, tak bertatap tapi membuat setiap detik terasa hangat. Menjalani profesi sebagai motivator layaknya tak terlalu buruk bagiku kini. Mulai dari undangan perpisahan sekolah hingga acara termegah semua telah kucicipi. Tak masalah menjadi seorang buta, sementara hati masih mawas memandang semua.

Tuhan itu maha adil. Saat Dia mengurangkan nikmatmu di satu sisi, namun di sisi lain Dia akan melebihkan anugerah agar kau mau berusaha. Itu motto hidup milikku, Mustika, tunanetra tak menyerah.

“Aku telah lulus ujian-Mu dengan sempurna, Tuhan. Jikalau Kau berkenan, tolong beri aku anugerah atas kesepian ini,” panjatku di setiap hening malam.

Tuhan membayarnya kontan dengan bidadari yang menjalinku kini, meski kutak tahu dari mana asalmu, namun percayalah, dia suci nan istimewa, sahabat bagi mereka yang sabar dan bersemangat, kupanggil kau, Akal Sehat.
(IPM)

Surabaya, Desember 2011
#Ilustrasi diunduh dari sini

Followers