Perempuan Penadah Embun

January 21, 2012


FRAGMEN pagi mengembang, berpasang sejuta rona akan mimpi terang, mimpi tentang sebuah realita hidup yang mungkin semakin kelam tertelan jingga gelombang. Jingga yang dalam anganku adalah sebuah ketidakpastian akan warna, apakah berani ataukah meragu selamanya. Sering kuanalogikan jingga dengan para makhluk yang berjalan dalam keheningan relung pagi, semakin kutelisik, semakin pula kumenjauh dari logika semula, tanpa tahu kapan akan bersua.
***

DI tempatku dulu selalu ada berbagai kisah anomali, ketidakbiasaan. Tentang para wanita yang berbondong lari tunggang langgang berebut sejumput embun. Mereka datang bersama, layaknya arak-arakan sebuah perayaan, namun seketika maksud hati mengikuti, tiba-tiba mereka menguap, seperti asap. Lenyap tak bersisa ditelan mentari.
 

Kala waktu, aku mengintai gerak-gerik para wanita itu, bergerilya, diam tak bersuara membentuk sejuntai gerakan indah. Dalam pandangku, mereka saling menebar senyum antar sesama, juga sesekali kepada seorang lain yang disapa. Kuperhatikan, seksama, mereka selalu membawa sejengkal harap yang terpatri di rona wajah, sambil memegangi satu cawan perak kecil ke mana-mana. Entah untuk apa cawan itu, namun dalam terkaku adalah tempat menampung embun yang mereka cari di dedaunan, batang pohon yang basah, serta rumput hijau di pelataran sejengkal tanah.

Wanita-wanita itu datang kala hari belum genap menyuarakan pagi, bersanding mendahului mentari, serta berperi melawan hawa dingin dalam ragawi. Para ibu juga kurasa belum terjaga, belum bermata menghidupkan hari dengan cinta dari setiap helah napasnya. Namun, aku ragu tentang semua deskripsiku. Sempat kukira mereka adalah bidadari yang berlari dengan alibi takut tertemui sesiapa, tapi sejenak, mereka nyata dengan segala tanda yang dibawa.

Paras putih nun ayu, bibir kecil bermerah pudar, kaki jenjang berpoles genap pesona, ditambah rambut yang tergerai melebihi bahu jelas menggambarkan bagaimana perawakan para wanita itu, hampir sempurna. Berjalan berjingkat seolah enggan menapaki tanah yang basah karena gerimis. Sesekali, mereka menoreh setiap jejak anggun, yang sejalan bertambahnya waktu, susut seketika. Seperti putri saja mereka.

“Dunia itu hampir tak tertebak, bukan?” desahku dalam hati.

“Kukira cerita nenek akan para wanita itu tidaklah nyata, tapi...” lanjutku jengah.
***

SEMINGGU setelah senja berganti, aku mulai merasa janggal akan dunia ini. Dalam batinku, hati selalu piawai mengguratkan beribu misteri tentang hidup. Tentang rasa serta banyak lagi pertanyaan yang manusia sukar mengeja apa jawaban untuk itu semua. Apa itu cinta? Apa itu perasaan? Apakah penting seorang manusia memiliki cinta dan perasaan? Apa itu harapan serta apa itu penyesalan? Semua itu adalah tanda tanya besar. Tak ada suara, terlagi nada.

Hanya Tuhan-lah yang mengerti apa maksud dari deretan misteri. Aku menerka Tuhan pasti memberi tahu tentang semua kepada hamba yang telah bersua dengan-Nya. Mungkin para wanita itu mengenal Tuhan dengan baik sehingga bisa berbincang tentang berantai makna. Aku ingin bertanya...
***

SENGAJA kutak mengizinkan mataku terpejam malam itu, bermaksud terus menjaga bayangnya hingga pagi tiba, hingga pertemuan dengan segala harap dalam raga. Sedetik beranjak semakin cepat, kurasa embun di luar juga semakin pekat, mereka sebentar lagi pasti datang. Menunggu, menanti siluet indah yang terbit dari ujung kota, mematuk setiap dahan basah, serta menadah bertetes embun dalam cawan wadah. Sebait aku mengamati, sebentar aku mengagumi, singkat waktu aku mulai mencintai.
***

SEORANG perempuan berbusana putih di antara yang lain sungguh memesonaku, membuat bergetar ganjil tubuhku, serta detak hati semakin berdegup tak menentu. Sepertinya aku salah tingkah, sepertinya ada yang berbeda, hampir pasti aku mulai jatuh cinta.

Aku sangat antipati akan rasa ini. Bagiku getar adalah sampah, membuat susah saja. Terkadang apa guna rasa juga tak seberapa kumengerti, entah karena belum kutemui atau karena segenap awan setia menutupi secerca arti. Dari sini, aku mulai berteman perih.
***

GELAP gulita semakin menambah kelam suasana hati yang terombang-ambing dihempas megah tanda tanya. Misteri itu tanda tanya, tak pasti apa yang tersembunyi di balik rintihan sunyi.

“Bukankah lelaki mencintai misteri? Hingga mereka rela membuang terang untuk berjuang mendapatkan remang,“ gumamku dalam angan.

Aku tak mengerti apa yang dipikir oleh kaumku. Sejenak semua menjadi lucu ketika kau mempertaruhkan waktu untuk ganjil sesuatu. Kau juga tak tahu apa yang tersembunyi. Bisa saja itu membuatmu bahagia, atau sebaliknya, menumpahkan deras debit air mata darah.

“Itu risiko, bukan?” gayamu yang busuk membuatku tak suka, terlalu dominan.
***

SEMAKIN kau menyimpan misteri, semakin banyak saja lelaki yang ingin mengerti. Dasar lelaki, aura mereka kejam akan tanda tanya. Selalu saja memburu hingga dapat, hingga semua rahasia itu tercecer satu per satu. Terkadang, aku tak mengerti mengapa sifat ini diwarisi. Dilenyapkan rasanya ide yang cukup rupawan. Sehingga tak ada lagi yang bertanya apa dan mengapa. Hidup seyogyanya terlihat tentram tanpa kata-kata itu. Kata yang tercipta singkat, namun untuk menjawab, tak sering seseorang rela berjudi dengan sebongkah martabat.

Sudah kubilang, lelaki itu pecinta misteri. Apa saja yang kau sembunyikan pasti mereka kejar. Jikalau gagal, mereka akan terus menyeretmu sampai kelak ajalmu tak lagi tenang sesuai tanggal. Beringas. Itulah akal, seperti sumur tak berdasar. Kala kau menimbanya dengan hati-hati, tiada penghabisan yang akan kau temui. Alih-alih kau terganjal, tersungkur karena bening air mukanya, lalu kau terjatuh ke dalam sumur itu, tenggelam, dan abadi bersama air yang jika malam kauamati, airnya berpendar memerah sunyi. Sesepi kau di dalam sumur itu, tak berteman, sendirian.
***

TUHAN itu selalu mencipta dua hal yang berlawanan, malam dan siang, maya dan nyata, serta pecinta dan pembuat. Kali ini kami adalah pecinta, dan kau beserta kaummu-lah pembuatnya. Kau boleh berbangga hati membuat tanda tanya di sana sini. Di pertokoan yang remang-remang karena berlilinkan kesedihan, di kota murung yang saat pagi terus melamun, atau juga di taman-taman topeng yang segenap anak kecil berlarian menjabat rasa bahagia, sedang ganjil orang yang lain diam menyulam air mata.

Mereka tak butuh diseka, diberi sepotong kain putih penghapus luka, atau gurauan semu yang sejatinya adalah kebohongan belaka. Kaum lelaki penyulam air mata jingganya tak mengerti tentang sebuah arti pengharapan. Mereka hanya menunggu kelak akan datang suatu kaum di mana membuat spasi kosong menjadi tak berarti, menggenapi setiap ganjil memori, serta menjalin serampai bunga keserasian.
***

AKU mewakili mereka, berkata jikalau kami memuja setiap misteri. Dan misteri itu adanya pada kalian, wanita, para perempuan penadah embun. Embun itu sejatinya air mata alam. Kala mereka terberatkan oleh tingkah laku insan, alam tak kuasa menahan gejolak kesedihan, hingga embun tercipta begitu saja.

Barangkali jika para perempuan penadah embun mengerti apa arti misteri, mereka pasti akan bertahan menggenggam itu. Namun, apabila tidak, mereka akan mengumbar misteri hingga tak bersisa lagi. Mereka tanpa misteri adalah nol, tak berkesan. Dan kami selalu memburu ketidakpastian...
(IPM)

Surabaya-Bandung, Januari 2012
#Ilustrasi diunduh dari sini

Followers