Gerimis Senja di Bulan September

February 27, 2012



GERIMIS senja kini memiliki beberapa warna yang semakin merah. Beberapa terkadang jatuh pada pelataran gedung-gedung tua yang berkerak di tiap sudut bangunan. Saat menetes, tepercik, air dari rintik itu perlahan membasahi beberapa fragmen dinding berlabel sejarah. Sejenak, tembok tak bertuan itu berubah warna, memerah, menjingga, lalu kembali semula. Saat kuperhatikan, aku tertegun menatap fenomena rintik senja itu. Barangkali, itulah rintik yang luruh bersama air mata kesedihan. Saat berjumpa dengan yang lain, mereka seketika menjelma menjadi warna-warni air mata, warna yang merah kelabu serta menumpahkan berbagai rasa haru, mungkin juga, saat itu rintik senja sedang berbagi cerita sedih dengan sesamanya. Namun, aku gamang akan hal itu.

Berbicara tentang gerimis, aku selalu menantikan rintik-rintik datang tepat di bulan September. Di bulan itu, selalu aku mengingat beberapa romansa yang tak pantas ditoreh, tak sanggup dicitra, serta tak ada daya membaginya. Bagiku, setiap bulan tentu memiliki beberapa jenis rintik atau gerimis. Misalnya saja Januari dengan rintik hijau tosca, Februari dengan gerimis merah muda, Maret dengan rintik abu-abu, serta yang lain. Aku mengingat semuanya, sebab seluruh rintik telah kucoba bagaimana mereka memberikan makna. Dari berbagai rintik, tentulah rintik senja di bulan September yang khas akan kesedihannya. Barangkali, bulan itu memang sengaja diciptakan untuk mengingat keharuan.
***
 

MASIH terpatri jauh dalam angan ini, beberapa percik air yang jatuh di bulan itu membasahi sejengkal tanah. Sejenak lahan itu memerah, menjingga, lalu kembali semula. Barangkali, itu rintik terakhir yang kuingat sebelum semuanya berubah. Sebab kini gerimis tak lagi datang sebagaimana dahulu. Rintik hijau tosca kini terkadang datang kala November, gerimis merah muda tahun lalu jatuh di tengah Agustus, tapi anehnya rintik senja tetap melagu di bulan September. Meski tak pasti di awal, pertengahan, atau bahkan akhir penanggalan.

Beberapa sebab pastilah mewujud menjadi sebuah alibi, karena tidak ada di dunia ini yang tak sanggup diurai maknanya. Mungkin banyak orang bersuara bahwa cinta adalah hal yang sukar dicerna. Mereka beranggapan dalam cinta ada spasi kosong yang tak pasti terisi maknanya, atau juga terdapat lentera gelap dalam cinta sehingga mereka hanya meraba tanpa pernah melihat apa esensi dari cinta. Aku mungkin dahulu adalah bagian dari kaum pembunuh cinta, sebab kami selalu ragu dan khawatir tentang romansa yang dicipta oleh Sang Pemilik Rasa. Kami terkadang juga gamang tentang keabsahan rasa ini, kelanggengan sikap ini, serta banyak lain yang tak dimengerti.
***

DAHULU, saat semua masih ungu, aku adalah aksen tak bertitik. Terus saja berjalan mengikuti arus ke mana pun ia pergi. Ke jeram yang dangkal, tepian danau yang keruh, muara tak berfragmen, serta lautan luas tempat menenggelamkan segala kesedihan. Saat berbalas menuju sebuah relung kelam, aku sadar bahwa selama ini aku tak bernyawa, hanya beraga yang digoyangkan oleh terpaan angin sehingga bergerak layaknya insan yang memiliki napas. Hingga kutemui seorang Pelita, barulah aku mulai bisa dikatakan berasa.

Pelitaku berparas senja, berlekuk pagi, serta bertatap langit malam. Saat aku bertemu, Pelita tak bersuara, dia hanya tersenyum menyerukan kesenjangan rasa. Aku terpatri dalam angan semu yang senantiasa kurajut dengan benang-benang kerinduan, kesunyian, serta kesenyapan yang abadi. Dengan benang itu, berhelai kain kesenduan terasa begitu dingin tercipta. Sehelai, dua helai, tiga helai, hingga beberapa gulungan rapi tertumpuk di sebuah ruang dalam hati. Nanti, saat semua telah terlampau sarat, aku akan merasa bimbang tentang semuanya. Namun, untuk saat ini, aku lanjutkan merajut benang-benang itu kembali.
***

KAU tak pernah memandang rupa Pelitaku. Kau juga tak bertatap saat itu hingga kau memaksa aku untuk melupakan siluetnya. Kau meradang ketika kubilang mulai jatuh hati kepadanya. Tak berarak ke mana tetaplah senyum hangat itu yang senantiasa kuraih, kupetik perlahan, lalu kusimpan senyum-senyum itu ke dalam beberapa toples kenangan. Wadah kaca yang bisa kujamah dengan mudah lekuk senyumnya, ceria nada, serta hangat hembusan kata-kata. Saat kuterpuruk, terhempas dari roda dunia yang kencang berputar, aku sesekali membuka tutup wadah itu perlahan, berharap tak membangunkan senyummu yang sedang tertidur pulas. Kutatap dengan lambaian mata berirama, kau tetap cantik, meski hanya dalam potret senyuman. Kututup lagi wadahnya, kubiarkan kau kembali bermimpi tentang kita.

Sedikit cerita, pernah kucoba memastikanmu menganggapku ada. Mematri segala harap dalam raga menjadi hasrat yang kujamah. Aku mulai membuka diri akanmu, akan segala keindahan yang tecermin dalam bingkai lirik ronamu, merah muda mustika, serta tudung kain yang selalu tersemat anggun bak mahkota. Dalam alibiku, kau bahkan bukan sekedar wanita, melainkan perisai bagi kaummu agar tak merendahkan mereka. Dunia akhir memanglah kejam, tak ada tindak tanduk insan sejati lagi, semua yang baik perlahan mati, berganti kesangsian yang terus lahir memenuhi. Sejenak, aku mulai ragu akan akhir cerita, tentang bagaimana wujud kesenjangan beberapa masa mendatang. Dalam batinku, semua telah abu-abu, begitu juga diriku.
***

PELITAKU tak kutangkap ternyata selalu menyala hangat. Pelitaku telah memiliki Api yang lain, yang senantiasa memberinya hidup agar tetap benderang. Api itu panas membakar Pelita tapi tetaplah dengan itu dia menjadi bermakna. Macam memakan buah simalakama saja nasib Pelitaku kini. Terjalin dengan Api yang sangat kubenci. Bercerita dengan senja yang terangnya mulai luntur seiring jatuhnya rona dalam hati, aku tak bisa berkata-kata lagi, diam termenung menatap Pelitaku berbincang dengan Api itu. Dari sini memang tak terdengar apa yang mereka bicarakan, namun dalam relung ini pastilah bergolak menyalahkan. Aku mulai sering melamun, merenung, menyendiri di tengah ramai dunia. Aku masih tak bisa menerima.

Sadar dalam naungan, aku haruslah melarikan rasa ini jauh-jauh. Melenyapkan kesedihan agar bahagia bisa singgah dalam asa. Sejenak kutembak beberapa rasa yang menjengahkan keadaan. Namun, tetap saja ada romansa-romansa kelabu yang membakar rasa damai itu. Untuk cinta, aku harus kuat mengikhlaskan rasa yang membelengguh raga, melumpuhkan sejengkal logika, serta memerahkan dinding hati menjadi lukisan kesedihan.

Saat datang rintik senja di bulan September nanti, aku berjanji akan menguapkan diri di dalamnya. Menghilangkan raga agar tak lagi bisa mengingat Pelita, mengingat Api, serta cahaya mereka berdua. Semoga rintik benar-benar datang di September tahun ini.
***

RINTIK senja tak datang pada September tahun ini. Aku juga tak mengira kalaulah rintik senja tak menampakkan alunan nada tepat di bulan kesedihan. Tak pernah kucatat dalam sejarah bahwa rintik senja tak jatuh di bulan itu sebelumnya. Mungkinkah terhempas di bulan berikutnya atau tak pernah tertemui lagi? Aku tetap berharap agar rintik senja segera datang dan aku bisa melupakan senyum dingin mereka.
***

TEPAT di penghujung Desember, rintik senja jatuh dengan derasnya. Mengaliri persawahan, jalan setapak, hingga kolong-kolong jembatan tempat beberapa saudaraku tinggal. Mereka sejenak mengerti bahwa ini pertanda kesedihan segera datang, tempat melemaskan raga hilang disapu deras aliran sungai yang berisi rintik-rintik senja. Rintik tahun ini begitu deras, saking lebatnya beberapa volume air di berbagai tempat penadah melonjak tajam. Tak kusia-siakan kesempatan tersebut untuk mencari tempat perpisahanku.

Aku menakzimkan ranah yang penuh akan rintik senja sebagai tempat perpisahanku. Aku terjun ke dalamnya, menenggelamkan diri di sisi rintik senja yang bergerak ke sana ke mari. Menghentikan segala ingatan akan Pelita dan beberapa romansa tak sempurna. Aku menikmati hidup di tempat baruku kini untuk beberapa lama. Cukup lama sampai kutak mengenal lagi siapa Pelita, tak mengharap lagi apa itu cinta, serta mendamaikan hati untuk menyambut lentik-lentik jemari bidadari. Aku menghilang, tak berpamit kepada siapapun. Mungkin di suatu tempat, Pelita sedang mencariku, atau khawatir tentang keberadaanku. Tapi, itu hanya lamunan, tak ada yang peduli tentang kau lagi saat ini. Berbahagialah dengan Api terhangat yang menghabiskanmu bersamanya. Aku tak butuh kau saat ini.
***

TAHUN depan, tepat di bulan September, aku akan pulang untuk menjenguk Pelita. Tak penting lagi bagiku tentang rasa itu, sebab aku telah menghanyutkannya bersama rintik senja. Saat kutemui dirimu, kutatap kosong perlahan, Pelitaku kini tak secemerlang dulu. Menghitam dengan beberapa flek tanda perpisahan. Kau juga tak menyala lagi. Di mana Api kekasihmu?

Aku tak menanyakan sedemikian, sebab tak penting lagi siapa kau kini. Sama tak pentingnya tentang di mana kekasihmu saat ini. Dengan segenap harapan semu, kukembalikan potret senyummu di depan bidadari yang memeluk erat di sampingku. Ini milikmu, kau tak lagi untukku. Kini masa depanku telah terajut bukan dengan benang-benang kesedihan, melainkan dengan pintalan kasih sayang. Tempatku berlabuh juga tak di dalam ranah lagi, sebab aku tak lagi bersedih. Kala kau menangis menyesali keduanya, ketahuilah aku dulu pernah merasakan itu bersama senyummu, Pelita. Semoga saat rintik senja datang, kau bisa tak lagi bersedih. Namun, itu takkan mungkin, sebab cerita tentang rintik dan gerimis telah lama jauh kupendam dalam pusaran ingat ini, bersamamu, juga berantai senyap memori. Saat rintik terhenti, terbanglah mentari, bercahaya, membiaskan sinar membentuk indah pelangi senja, tapi sayang, itu bukan kau, Pelita.
(IPM)

Bandung, Februari 2012

Followers