Manekin Itu Tersenyum Padaku

February 08, 2012




Saat malam, saat mentari tak lagi membiaskan sinarnya ke arah pelataran manusia, kau duduk termangu di bawah keheningan rembulan, sendirian di pojok sebuah tenda yang kukira tak bertuan. Kau tak menjawab saat kami berpamitan hendak pergi menyusuri hutan malam. Hutan yang semakin pekat, semakin mudah kau menemukan belantaranya. Kukira juga kau telah tertidur demi menyiapkan hari berbahagiamu esok. Kami saja yang tak patut menerima hawa dingin, tetap melawan hingga raga ini sakit karena dirasuki.

Saat pagi, saat mentari tak lagi tertidur pulas memanjakan tubuhnya, kau telah bersiap melanjutkan hari terbesarmu. Hari di mana kau mengenakan pakaian hitam terbaikmu dan siaga menerjang apa saja yang ada. Aku sebenarnya ragu tentang warna yang kau pilih di hari spesial ini, mengapa harus hitam? Adakah hijau tosca atau merah bata yang lain?

Saat siang, saat mentari bergegas menaikkan koordinat titik terpanasnya, kau tersenyum melihat rekan-rekanmu termenung. Mencari hilang lekukmu, tawa manis, serta renyah canda bersama derasnya aliran kehidupan. Kau tak ditemukan, hilang, ataukah menghilang. Kau di mana? Mungkinkah kau lenyap bersama senja?

Saat petang, saat mentari hendak menurunkan tirai cahayanya, kau memanggil kami menemukanmu, mengharap kami tak murung, meminta dalam hati agar kami tersenyum. Namun, kami tak sanggup, kami ingkar janji bahwa pertemanan adalah lentera kebahagian. Saat kau datang, kami yang memulangkan. Sahabat tentu bukan seperti pelita dan api, yang menghabiskan satu sisi, sedang seluruh ruangan berubah terang, namun sahabat adalah selimut dan raga yang menggigil, yang selalu serasi kala kau memanggil...

Selamat jalan, Sahabat...

Bandung, Februari 2012

Followers