Oase dalam Fragmen

February 17, 2012






SUASANA pernikahanmu sungguh membahana. Beribu bunga terpampang mesra di pelataran ketika aku hendak memasuki lorong gedung serba guna itu. Gedung putih dengan kerak-kerak alami di setiap sudut, ditambah model arsitektur klasik menjadikan tempat ini layak untuk kau utus sebagai saksi mati hari berbahagiamu. Entah kembang yang sengaja kau pasang sebagai dekorasi atau kiriman dari berbagai relasi suamimu terpajang rapi nun sempurna. Semua cantik, segalanya indah.

Barangkali, seharusnya kisah ini tak perlu terjadi, andai saja kau kuat meretas nasib bersamaku, Larasati, tentu bukan dia yang kau kecup saat ini. Cerita kita dulu juga kupikir tanpa cacat, nyaris sempurna. Hanya saja, kau terlalu letih dengan keadaan. Hingga ketika kau terjatuh, tersungkur bersama raga manismu, kau memilih berdiri dengan menopang genggaman tangan itu. Bukan lengan ini yang selalu terbuka kapanpun kau butuh. Lebih ironis, kau juga pergi bersamanya, hingga terguratlah sebuah romansa senja tak berujung yang tersimpan ganjil dalam alinea.
***


AKU mengenalmu tiga tahun lalu ketika takdir mempertemukan kita pada sebuah acara seni budaya di kota beku tak bertuan. Kala itu, beberapa karyaku terpatri rapi di dinding bilik-bilik pameran. Mulai lukisan, kayu pahatan, hingga dongeng-dongeng sastra tertata elegan penuh variasi. Kukira agar tak konstan dengan satu aliran saja, namun tak kutahu kau menyukainya.

Kau memandangi beberapa saat lukisan hujan karyaku. Kau pun menyentuhnya, dalam anganku kau juga merasakan basahnya air yang kulukis saat itu, tapi kau tak menghiraukan. Tak lama, lentik hitam putih matamu berpindah ke rantai kata-kata yang sengaja kutempelkan pada tembok tak berpelangi. Kau berkata padaku beberapa helah kata, isyarat yang kudapat adalah kau suka akan jalan ceritanya. Mungkin saja, kau mencintai, menyayangi karya senja juga penulisnya.
***

DUA cangkir coklat panas menjadi pemisah antara kami saat ini. Memandangmu dari dekat rasanya bukan sesuatu hal yang mustahil. Ditambah lirik lambaian mata yang dalam alibiku menafsirkan bahwa ada gema di antara kami. Mungkinkah ini cinta? Ataukah kasih yang pantas diberi untuk sepasang kekasih?

Saat itu masih kuingat bagaimana rembulan malam sedang mengintai gerik kami dari atas nirwana, memandang tanpa berkedip sekali pun, serta menyinari langkah yang terus melaju menuju jalanan rumahmu. Kali ini aku yang mengantarmu, bukan sopir angkot atau metromini tak berhawa lainnya. Kau juga tak pikir panjang tentang ajakan bersambang. Barangkali, kau tak sadar kalaulah cinta telah menelusup ke dalam nadimu, setelahnya ia perlahan menanjak, naik, dan sampailah nurani dalam taraf kasmaran. Indah, bukan? Ini bukan sastra, ini nyata.
***

MEMAKNAI pertemuan tentu bukan tentang mewarnai pelangi di langit malam yang semu serta tak bermakna. Beberapa frasa mungkin takkan pernah mewakili rasa yang dijamah kala cinta telah hinggap pada kedua insan saling berbeda. Dengan cinta, apa yang tak sama menjadi serasi, mengubah segala jenjang mewujud bidang datar, serta meracik segala alibi agar tetap mewangi. Sesampai cinta pada tujuannya, cinta tentu tak akan diam, cinta pasti kembali mencari tujuan lain akan cinta. Karena cinta tak pernah sama pada satu waktu, selalu mengubah senja menjadi gulita baru, seakan pula merangkai mimpi yang tidak logis terjadi.

Ketika kuikat rambut ikalmu, aku sadar bahwa kau telah jauh berlalu. Bukan helai ini yang kubelai saat itu, mungkin juga jemariku telah kehilangan sentuhan peka akan romansa. Tapi tak mungkin, sebab segala kenangan pastilah merajuk pada satu titik. Entah sengaja atau tidak, titik itu sejatinya takkan bisa terhapus sampai kau meletihkan diri di pelataran tanah, bermandi deru air mata dari sanak keluarga, serta hari tak kuasa menutup halaman senja. Kau menguap, Larasati.
***

LENTERA pagi ternyata semakin menjelma menjadi secangkir kopi hangat tak bermanis, tetap pekat dengan aroma pahit yang menguat. Sementara di lain sisi, mungkin kau masih tertidur lelap dengan kekasih tak bermata di sebuah ruangan gelap. Menunggu hingga mentari melayang tinggi, barulah mata terbuka serta raga saling menjaga. Barangkali surya tak akan terbang hari ini, kuikat erat sumbunya dengan gemerlap kesedihan agar kau tak bermata, kekasihmu juga. Sebab dengan mustika itu, aku tak bisa menatap ke depan, selalu ke arahmu. Aku masih ingat ketika kau berlalu menggenggam erat lengan kekasihmu di depanku, masih segar dalam lamunan saat kau meneguk mesra lambaian perpisahan kita, juga masih terasa amis rasanya bau sandiwaramu di balik kesenjangan nuansa.

“Semua masih kuingat, Laras...” desahku pelan.

Mungkin, saat kepala ini dibenturkan beberapa kali ke dinding berduri, atau menghujamnya dengan timah panas sampai berlubang sebesar biji barulah aku tak bisa menggambarmu lagi. Namun, aku tak mau melakukan hal yang sia-sia. Sebab hidupku telah cukup terbunuh dengan senja yang kau retas bersamanya. Menghilang bagai sajak-sajak tak berpenulis, meringkas cerita sastra murahan dengan rentetan nada sinis, hingga meraibkan puisi menjadi kertas buram tak berarti telah berkali kujalani. Hanya saja kau tak melihat, tak bermata.
***

KUCARI tahu tentang kekasihmu, yang kau sandarkan padanya pita-pita kehidupan masa depan, tapi aku tak memperoleh sebuah alasan untuk berpaling dari kenyataan. Dia hanya seorang babu duniawi, Laras. Pesuruh yang mengerti kemauan tuannya sehingga tak sanggup melawan arus. Dia juga hanya diam mencari zona nyaman dengan asumsi kekayaan selalu rapi tergenggam di tangan. Kekasihmu itu tak lebih dari sebongkah sampah berbungkus hadiah. Gaya kelas atas macam jas dan celana kain tak berlekuk, sepatu kulit mengkilat yang menyilaukan mata para pengais kesedihan, serta dasi dengan corak garis-garis tak bermakna. Tak ada kesan dari dandanan itu, semua topeng. Sayang, kau tak melihat, aku lupa kau juga tak bermata.

Sekali lagi, kupererat menarik sumbu mentari, agar kalian berdua tak terbangun, tak bermata. Sebab kau telah menjadi bagian mereka. Kini aku lebih tak suka gerak-gerik kalian. Tak suka gelagak berpura mengasihi tapi tetap saja sepeser emas harus disiapkan agar proyek berjalan ke depan. Aku juga tak hormat dengan tabiat kantuk kalian, yang selalu berkencan dengan dewa-dewi mimpi ketika musyawarah agung sedang digelar, atau berhias meraih angan semu dengan meronce berantai kekayaan. Apalagi ketika palu diketok dengan suara ganjil, kalian seakan telah merampungkan sebuah masalah, namun di balik saku, masalah sejati barang tentu baru dibuka saat seluruh perhatian berlalu.
***

LARASATI, aku mengerti maksud undangan ini, pengertian bahwa kau telah berhasil menaklukan aku dengan berjuta asa yang kau gantung tinggi nun semu. Aku juga dapat menangkap wajah pucat suamimu yang menakzimkan ketidakadanya jiwa di sana. Kau menikahi jasadnya, bukan dia. Bukan hangat suhu tubuh atau keluasan berpikir yang lain. Kini, sengaja kulepaskan sumbu mentari agar terbang ke angkasa, agar kau terjaga bersama kekasihmu. Saat kau bermata, bersanding dengan manekin tak berjiwa, kau tahu, aku juga merasakan aroma kebahagiaan itu. Sebab, kini akulah yang tak melihat, tak bermata, tenggelam bersama oase dalam fragmen yang kau buat bersamanya.
(IPM)

Bandung, Februari 2012

Followers