Aksen Senyuman

March 03, 2012




Salam dari Jiwa untuk Cahaya...

YANG kuingat darimu sejak terakhir bertemu adalah senyuman, yang lain aku lupa. Aku tak tahu warna baju yang kau pakai ketika itu, lentik gelang yang tersemat di kedua lengan, corak tudung kain tipis di kepala, atau aroma khas seorang wanita yang kau kenakan. Semuanya aku tak ingat. Mungkin dengan senyum itu, aku sedikit bisa membayang bagaimana sketsamu saat ini, gambaran akan fisik serta rona diri seorang Cahaya. Sebab, sejak senja itu aku tak lagi memiliki kesempatan untuk bertolak, berbincang, sambil basa-basi akan kenangan denganmu. Semua tak kuperoleh.
***

 
MASA putih abu-abu semakin berwarna saja ketika kau sadar bahwa semua telah berubah, telah menjadi sebungkus potret dalam bingkai tak bernyawa. Masa di mana seorang insan merangkul orientasi lain dalam hidupnya, berteman, bercengkrama, serta meracik bumbu-bumbu kehidupan remaja. Mungkin dalam hidup, masa itu takkan terulang, namun dengan kenangan, semua dapat kau ulang sebagaimana kau mau. Seperti hari ini, hari di mana aku membuka lembar demi lembar masa lalu, sebenarnya aku tak ingin, sebab aku memiliki ikatan akan hal ini. Tapi inilah janji, ingin tak ingin harus kau tepati.

Bercerita tentang Cahaya haruslah kau mengerti bagaimana deskripsinya. Hawa berumur belasan tahun yang bermata elok, berkulit langsat, berjari lentik, serta memiliki senyum yang anggun. Aku tak yakin akan ceritaku, sebab aku telah lupa. Tak lagi mengingat apa-apa darimu, kecuali senyum.

Seluruh kejadian masa lalu selalu kurangkai rapi dalam album-album bersampul putih, warna yang bersih dengan berantai keindahannya. Warna itu pula yang menyilaukan siang saat kami pertama bersua. Berjumpa di dalam ruangan hampa dengan corak arsitektur Belanda. Jendela yang tinggi nun lebar, berpasang dengan daun pintu kokoh, teralis di ujung-ujung saung, serta cat yang mulai luntur. Di ruang itulah kami berjumpa, berbincang tentang nama serta yang lain. Namun, Cahaya tak bersuara saat itu, entah dia berbicara tapi aku yang tak mampu mendengar atau sengaja dia membiarkan tegur sapaku. Dalam albiku, dia juga tak bergerak ketika itu, apa karena tak berhawa atau aku yang tak sanggup mencitra. Sekali lagi, aku tak yakin akan kisahku, sebab aku tak mengingat segalanya lagi, kecuali senyum.
***

CERITA ini tak berlangsung lama, hanya beberapa ganjil caturwulan saja. Sebab perbedaan datang memisahkan perjumpaan, dan spasi selalu memberikan abdi bagi kami. Ketika itu aku masih terbayang tentang semua perjuangan kami dalam menjalani kehidupan sekolah tingkat awal, dengan adaptasi pada lingkungan baru serta romansa yang tak kami mengerti. Sejenak, kami masih gamang mencari apa itu makna, apa itu rasa, serta aksen yang menjalin antara makna dan rasa. Semua tak kami mengerti, hanya menjalani. Aku kini tersenyum mengeja semuanya, tapi kau tak tahu jikalau saat itu aku juga bimbang sepertimu, seperti kita.

Inilah proses, suatu waktu yang diberikan Pemilik Masa agar kau mengerti beberapa ilmu melalui sejengkal pengalaman. Dengan itu, aku mulai mengerti apa arti perjumpaan, persinggahan, serta perpisahan. Ketiganya adalah satu paket dalam hidup. Ketika kau berjumpa kepada seseorang, ketahuilah bahwa kau sedang melakukan singgah, diam yang temporer dan selalu berubah, saat semua berkelok, kau sadar kalaulah hatimu telah pergi ke arah yang dia inginkan, ketika itu terciptalah kata perpisahan. Segalanya mungkin sebuah siklus yang akan kembali, terjadi, dan berganti. Tanpa itu hidup adalah mati.
***

SELAIN beberapa kalimat di atas, aku tak bisa lagi mengguratnya. Sebab tak ada lagi yang kuingat dari Cahaya. Kau kini juga kurasa telah hidup bahagia merangkai mimpi di kota N dengan pangeran terbaikmu, pria baik yang mencerminkan keindahan perilakunya serta bertanggungjawab atas segala tutur kata. Dan, mungkin di sini, di kota D, aku juga telah tertambat dalam hati seorang permaisuri, wanita yang berparas senja, berlekuk pagi, serta bersenyum sedingin malam.

Tak ada yang salah tentang sebuah kisah, barangkali senyum yang kuingat dalam hati selama ini adalah kilau persahabatan. Senyum dari sahabat lama yang memberikan arti beberapa kisah agar dewasa sesuai waktunya. Semoga saat kami berjumpa, tangan ini tak lagi gemetar karena gugup berjabat, tapi memegang erat menyuarakan arti seorang sahabat.
(IPM)
 
Bandung, Maret 2012


#ilustrasi diunduh dari sini

Followers