Dara di Tepian Dermaga

March 26, 2012


Jikalau aku memiliki kesempatan lebih untuk menghapus seluruh lekuk dermaga dari kotamu, pasti akan kulakukan dengan sungguh-sungguh...

BERKALI kukatakan dengan nada berirama bahwa aku pernah melihat semua yang tak kau lihat, menemukan yang selama ini kau cari, serta mengubur segala sesuatu yang berbekas kenangan. Segalanya pernah kualami, kunikmati, dalam segenap hidup bertahun selaksa mati.

Aku mulai bercerita tentang tempat paling senja di kotamu, tempat yang lekuk indahnya sanggup membuat deras darahmu mengalir, serta rona mata berubah merah tak kuasa menitih air mata. Dalam ruang waktu, aku pernah menelisik jauh hingga ujung negeri, terbang terbawa angin menuju dangkal air laut, tapi yang kudapat hanyalah kesunyian, kesepian, serta ketiadaan yang melengkapi setiap romansa alinea kehidupan. Hingga terjalinlah sebuah rahasia tentang bagaimana tempat paling senja itu berkisah.
 

Dahulu, saat dermaga masih berbintang, di sana sering kulihat beberapa senyum yang mengembang. Entah para buruh panggul dengan beberapa minuman penyegar kelelahan, wanita berlekuk yang senantiasa merayu memanggil mereka yang tengah kesepian, atau juga lelaki tak bermata yang menunggu umpannya tersaput ikan air asin pinggiran dermaga. Meski kulihat sedikit senja terpotong dalam wajah mereka, kuperhatikan ganjil bahagia masih setia mengembang dalam senyuman. Namun, itu hanya kisah terdahulu, jauh sebelum aku dan kau bertemu.
*** 
LEMBAR kita seakan terbuka setelah kisah kebahagian lenyap diretas. Tak ada cerita. Sebab hidup adalah gelombang, jikalau satu sisi telah sempurna, lain sisi hampir pasti mensyairkan petaka. Semua saling melengkapi, saling menjaga, seperti tangis yang setia menghamburkan tawa. Dari sini, kau datang membawa lekuk sempurnamu, mengundangku untuk bersambang, untuk terjatuh dalam buaian kasih semu milik sepasang insan. Kuperhatikan, segala terlihat sempurna, tapi tidakkah kau tahu jika terkadang yang baik menurutmu tersimpan keburukan yang sejati, tidakkah kadang yang kau benci adalah sungguh sebuah kebaikan abadi? Segalanya tak kau mengerti.

Semua yang kuberikan padamu sesungguhnya adalah keraguan, murni berlatar abu-abu, antara tidak dan rasa mau yang pura-pura. Kadangkala aku menyangsikan tentang rasa ini. Apakah kau tak menyadari jika aku tak sungguh-sungguh mencintai? Tak sepenuh hati peduli? Tak mau tahu apa kau juga menyayangi? Segala tak berjawab, tak menemukan titik terang untuk menerangkan. Hatiku gamang.

Yang kusuka darimu adalah sikap tak banyak tanya. Kau, Dara tak mau tahu apa-apa yang belum kau mengerti. Selalu saja menjalani hidup menghadap ke belakang. Menengok sejarah tanpa pernah mencoba hal-hal baru di depan. Sebab, masa lalumu sungguh sebuah senja yang sejati, yang pekat gulita tanpa tatanan cahaya, hingga dengan berjalannya waktu kau terbiasa dengan sunyi, dengan kenangan yang menyiksamu selaksa mati.
***

DAHULU sebelum kita bertemu, sebelum matahari terbit dari utara, hari-harimu senantiasa melagukan kisah-kisah melankolis, cenderung tragis. Kau hanya seorang wanita tak beruntung di tengah beku sebuah malam dermaga. Malam yang penuh kesunyian, namun ramai dicari oleh para lelaki pemerhati. Mereka datang berbondong-bondong setelah lelah mencari upah dunia. Membawa sebotol bir bermerk murahan dengan sisa oplosan bahan berbahaya tak masuk akal, mendekat, merayu, menyentuhmu dengan sentimentil tanpa perasaan. Di otak mereka hanya tersirat birahi, tanpa kasih atau cinta kepada makhluk yang bernama wanita. Mereka membelimu dengan beberapa peser mata uang tak bermakna. Kau yang terjebak dengan sandiwara mereka tentu tak sanggup melakukan apa-apa. Kau menangis. Merengek sejadi-jadinya ketika mereka tertawa menghabiskan malam selaksa tanpa dosa. Aku bisa melukis kesedihanmu saat itu, tepat saat air matamu mengering dan meninggalkan noda tak berwarna di pipi. Semua bisa kuraih, tak perlu kau bercerita. Sebab aku memang tak menginginkan sebuah kisah.

Hari demi hari kau lewati seperti malam-malam sebelumnya. Nyaris sama. Setiap senja adalah gladiresik datangnya petaka. Kau tak mengisyaratkan kesedihan saat pagi, namun saat cahaya berlari, kau tertatih memandang sinar yang pergi perlahan berganti malam tanda kesedihan. Kau juga selalu memohon kepada Pemilik Hidup agar diampuni, disucikan, dibersihkan untuk menebus segala salah yang tak bisa disanggah. Kurasa kau tak berdosa, suci, bersih selayaknya bayi yang baru keluar dari rahim seorang ibu. Bayi itu lantas menangis di setiap malam, sama sepertimu. Hanya saja dia berada hangat dalam pelukan ibunya, sedang kau bermalam bersama mereka yang jijik aku menyebutnya. Aku tak sanggup berkata.

Mungkin karena analogi itulah aku mau datang bersua ke tempatmu, ke warung tak bercahaya itu, berkenalan, bersentuhan, saling menjabat tangan denganmu, Dara. Aku juga mengerti jikalau kau cantik tak bersyarat. Di bilik yang remang seperti itu saja, aku sanggup mencitra parasmu yang indah, meski kutahu beberapa garis wajahmu bercerita tentang kesunyian. Seperti lekuk yang berlalu bersama tangisan, namun setelahnya membekas tak menghilang.
***

AKU bisa menangkap isyarat jikalau setengah dari dirimu ingin singgah, tetap melekatkan nasib pada rentetan peristiwa. Sebab mau tak mau kau telah terbiasa akan sunyi, akan tangis yang selalu jatuh seiring bergantinya hari. Namun, separuh jiwamu yang lain meminta hijrah, memohon berubah, karena tak mau terus terjerembab jatuh, tersungkur di kehidupan sunyi milik malam dermaga yang abadi. Di balik kontainer-kontainer berkarat, kau senantiasa disekat, tak bisa lari, berteriak pun tak menaruh arti. Semua sia-sia. Suatu ketika pernah terpikir dalam kepala mungilmu untuk mengakhiri hidup dengan menenggelamkan diri ke laut dermaga, laut yang hitam pekat tanpa kehidupan. Sebab tak ada yang sanggup beradaptasi dengan tabiat dermaga yang kelam, yang penuh dengan hitam kesedihan. Barangkali ikan atau sejenisnya juga telah lama bermigrasi menuju lautan tak bedermaga lain, tempat yang menyediakan hidup tanpa menjadi saksi kesedihan tercipta.
***

DARA berhias diri, memadukan busana ketat dengan tampilan menggoda, memerahkan gincu agar merona kala lelaki memandangnya. Tapi, barangkali para lelaki itu juga telah bosan akan ragamu, akan tangisanmu, yang selalu terisak di tengah perjalanan mengarungi malam. Mereka memiliki banyak variasi di sini, sebab dermaga selalu melahirkan kupu-kupu baru di setiap malam. Mereka menetas dari telur-telur yang menempel pada sekat dedaunan, berminggu memakan hijau lentikan serupa larva, lalu berubah indah menjadi wanita. Mungkin ini tak masuk akal, tapi percayalah, aku melihatnya ketika Dara berkisah.
***

LANGIT malam di dermaga tak lagi bersinar kepadamu, di tengah hampa dunia, aku datang menghampiri, jatuh hati pada siluetmu yang sempurna. Kau tak menjawab segala tanya dariku. Kau diam, antara bisu dan tak mau tahu. Aku tersakiti dengan tingkah lakumu seperti ini. Aku, sebagaimana kamu adalah sesama makhluk jalang di dermaga malam. Kurasa dalam hati, akulah yang kau cari. Lelaki senja dengan kemauan bertanggung jawab kepadamu. Kukira kau juga menyukaiku, sebab setiap malam, hanya aku yang kau temani. Beribu tangis juga telah kau curahkan kepadaku di tengah hening malam. Aku juga yang selalu memesan ragamu sedari dulu. Namun, kau belum kusentuh seutuhnya, aku juga tak tega. Tapi kau menolak memberiku simpati, padahal aku telah memisahkanmu dari rintihan duniawi. Kau berdalih tidak sanggup menerima kebaikanku di sini. Tapi, tidakkah kau mengerti bahwa seberkas cerita selayaknya telah tertulis sebagaimana adanya? Tak bisakah kau berpikir jernih jikalau cinta adalah tentang bagaimana dirimu sekarang, bukan seburuk apa dirimu dulu, juga apa yang kini terpatri di hatimu? Kau tak mengarti dengan sungguh-sungguh apa maksudku dengan setiap malam ke dermaga. Aku tak memburu kesenangan, Dara. Aku menunggumu datang, sebab sejak aku tercipta, aku bercita akan bercinta denganmu, dengan kau yang ada di depanku kini. Namun, kau mendiamkan segalanya. Aku tak mengerti kau seutuhnya.
***

LAMAT-LAMAT dalam kesunyian malam dermaga, kau memanggilku untuk menemukanmu. Kau bersandar, melayang, membiarkan ragamu yang telah tak bernyawa terombang-ambingkan ombak kecil tepi lekukan. Malam ini, dermaga lebih senja dari biasanya, sebab Dara, tanpa ada alibi atau alasan telah pergi untuk selamanya. Kau bersinar saat pertama ditemukan. Di ragamu, terdapat beberapa bekas tusukan, namun tak ada petugas otopsi atau sejenisnya di sini. Kematianmu juga kurasa sengaja ditutup-tutupi, padahal aku yang tak tahu banyak, dengan sederhana bisa mengerti jikalau kau mati karena tengah terjaga suamimu yang cemburu buta dengan alibi kau bermain api.

Kau tak mau kudekati bertahun lalu sesungguhnya karena alasan telah berkeluarga, meski dia –suamimu- yang menghardik agar kau bekerja di dermaga, seperti ini, sehingga kita bertemu meronce sepotong arti di tengah hening sunyi. Kau sungguh setia dengan janji yang dulu kalian toreh di tengah para saksi, meski sebenarnya suamimu telah ingkar lama. Mungkin, sifat hatimu itu yang kucari, yang tak kutemukan di lain sisi para wanita. Sebelum aku mati karena cemburu buta suamimu, sebelum aku bersandar, melayang, membiarkan ragaku yang telah tak bernyawa terombang-ambingkan ombak kecil tepi lekukan, sesegera mungkin aku menenggelamkan diri mencarimu yang kuyakini hanya berpindah ke sisi lain lautan dekat dermaga. Aku mencari, semakin dalam kumenyelam, semakin hitam warna lautan, bermenit hilang, berpeluh penuh kenangan. Akhirnya dengan rintihan napas terakhir, aku menemukanmu tersenyum di pangkal lautan dermaga. Tepat setelah menjalin jemarimu, berbondong orang datang mengangkat mayatku. Aku tak peduli, terus meraih lenganmu, mempererat memelukmu, ketika fajar berganti, ketahuilah, sisi laut dermaga berubah merah tak seperti biasa.
(IPM)

Bandung, Maret 2012

#Ilustrasi diunduh dari sini

Followers