Filosofi Mangga

September 12, 2013


Suatu ketika, kau memiliki satu biji mangga.

Namun, kau tak mempunyai tanah yang cukup untuk menanamnya. Lantas, kau semai biji itu di tanah lapang dekat rumah.

Kau pun tekun menyirami, memupuk, serta memberi kasih sayang yang cukup kepada biji mangga itu.



Hari berganti minggu. Bulan berganti tahun.

Biji itu kemudian tumbuh menjadi pohon mangga yang teduh, yang sejuk, yang berbuah lebat.

Manis daging buahnya terasa, bahkan sebelum ia benar-benar matang.

Kau menunggunya hingga ranum, dengan membungkusnya. Entah kertas koran atau plastik hitam kaupakai, dengan alibi agar buah itu tidak dijamah lain perangai.



"Sepertinya, buah mangga itu sudah siap kupetik," katamu sembari menyiapkan diri menuju pohon itu.

Kau pun datang memakai pakaian terbaikmu, sembari menggengam gunting guna memotong tangkai buahnya.

Harapmu melayang, terbang.

Saat kau sampai, buah mangga idamanmu tiada, hanya bersisa pohonnya yang kosong.

Dan kau kembali mengangkat kecewa, tanpa satu mangga tergenggam nyata.



Oh, sungguh seperti itulah Cinta.

Tak bisa kau menunggunya hingga benar-benar siap kaupetik. Perlu proses yang senantiasa membesarkan bibit-bibit mungil hingga pantas kaugenggam erat bersama.

Ketika kau biarkan dia menganggunkan dirinya sendiri, Cinta akan lari. Mencari pasangannya yang lain, atau juga pasangan itu datang menjemput Cinta.

Lantas, kau yang kembali dengan membawa kesuksesanmu tiada menemui Cinta yang kau idamkan menghiasi lekuk-lekukmu.

Kau merasa sangat kecewa.

Tapi tenanglah, Cinta tak ke mana, ia hanya berpindah, karena ia sungguh tahu mana kekasih yang benar-benar sempurna memperlakukannya.




#Ilustrasi diunduh dari sini

Followers