Menyesap Sepi

October 23, 2012




Senja menjemput, kau asyik bercengkrama dengan rekanmu. Kulihat tawa itu pecah, serta sedihmu tiba-tiba memeluk rasa. Kau terdiam, meringis sakit, tak bertenaga.

Malam bersambut, kau terlelap di kamar terkelammu. Terlepas dari corak kotak-kotak sprei, kerutan bantal tidur, atau juga hempasan angin sunyi. Kau mulai mengerti arti sepi.


Pagi menjelang, kau terbangun dengan raga yang lain. Badan yang halus putih tak berpeluh. Dingin, atau sangat beku ketika kaupetik perlahan. Gemerisiknya, membuatmu legam menahan sapa. Kau tiada.

Siang berpegang, kau masih mencari letak jemari yang penuh sidik jari. Tak ada. Kini, hanya tangan-tangan halus yang tak lagi bisa kausentuh. Mereka mensyairkan nyanyian surga ke arahmu. Tepat setelahnya, kau sadar: hari terang, tak berarti harus siang.

Senja-malam-pagi-siang. Denting air mata terbelah, jatuh pada pipi-pipi yang luntur akan maskara. Sesegera, kau mengusapnya. “Tak perlulah ada air yang terkikis karenaku. Kesedihan hanyalah kisah yang tak bertuan...” katamu. Baitmu terhenti, seketika hangat lantai kamarmu menguap. Maaf, kini kau benar-benar hilang tersesap.

Selamat jalan, Kawan.

Bandung, Oktober 2012



#Ilustrasi diunduh dari sini

Followers