Perihal Tertawa

December 10, 2012



Apa susahnya tertawa?

Dia termenung sejenak. Sementara berpasang teman yang lain sedang sibuk merajut sungging tawa. Tawa yang renyah bak tiada masalah hidup di setiap pelupuk mata. Tidakkah tawa itu dapat menghapus seberkas masalah? Bukankah tawa adalah obat awet muda? Aih, itu hanya analogi, dan aku enggan mengkaji.

Dia masih duduk meregangkan kaki-kaki jenjang ke pelataran lantai sebuah taman bermain modern. Mata itu, senantiasa memerhati setiap ekspresi. Telinga itu, selalu mendengarkan hampa-hampa bahagia lewat teriakan-teriakan manusia. Bibir itu, hanya terdiam, menutup tak terbuka serta tak mengisyaratkan tawa. Dan harus kau tahu, seluruh insan yang berada di sini sedang mencoba membeli lesung-lesung tawa dengan berkeping rupiah. Sungguh mereka sangat menginginkan tawa. Diam-diam, disimpannya pula sedikit-banyak tawa ke dalam saku celana untuk sekadar bekal, atau mereka menjajakan kembali kepada yang lain untuk mesesap asap bahagia.

Namun baginya, tertawa ialah pekerjaan paling menyusahkan. Entahlah, bahkan dia sempat bercerita kepadaku jikalau dia telah lupa akan tata cara tertawa. Banyak hal lucu di dunia ini, tapi bukan untuk ditertawai. Sarat kejadian janggal di hidup ini, namun bukan teruntuk itu kita bangga memamerkan gigi. Hidup itu memang seharusnya serius, tanpa tawa, tanpa canda.

Berlagu ke tingkah lakumu, aku jadi sedih: mengapa Tuhan tak menghadiahkan tawa bagimu? Tidakkah kau memintanya sesekali? Akankah kau bosan dengan hidup tanpa tawa suatu saat nanti? Jawabnya satu: kau tak memerhati. Kau kini laksana es yang dingin, sehingga untuk dapat menyentuh, kau akan beku terlebih dahulu. Maka kudiamkan dia dalam rajutan hidup yang membosankan.

Tapi tenang, suatu saat akan kuajarkan kau tentang bagaimana cara melukis tawa. Namun, sudah kukatakan itu suatu saat nanti. Sebab di hari yang ceria ini, aku masih juga semurung cahaya mentari, yang tersaput awan hingga gelap tak kuasa melemahkan. Sesungguhnya aku tertawa, hanya saja tak bisa kutampakkan. Aku juga tersenyum, tapi dalam lesung selalu ada murung, bukan karenamu, namun untukku yang senantiasa termenung.

Kali lain, coba kau ajariku tentang bagaimana cara tertawa. Kau berjanji.
(IPM)

Bandung, Desember 2012
#Ilustrasi diunduh dari sini

Followers