Jangan Sebut Aku Banci!

January 20, 2013



PETANG melenguh. Tak biasanya langit Kota S kian luruh. Air hujan, deras merintikkan basah. Tak ada tempat yang terlepas dijamah rata. Semua tiada kering, seperti siang kemarin. Jalanan lurus, perumahan, terminal bus kota, pelabuhan, atau juga stasiun kereta yang kau singgahi, seluruhnya berlapis air yang jatuh tertemani. Kau terdiam sendiri, berteman pelangi, namun belum tiba di sisi.

Aih, hujan memanglah menyebalkan. Ia mengetuk-ketuk jendela kaca, seperti hendak memecahkannya sesegera. Terkadang, hujan juga hanya akan mengubur segala janji pertemuan. Dengan bertutur, "Maaf. Karena hujan, perjumpaan ditunda dulu ya. Kali lain semoga bisa bersua," kalian menyalahi lidah. Hujan, cukup saja menjadi alasan pengkhianatan. Dan mungkin, sebelum hujan itu reda, satu dari kalian telah bertukar lelah dengan yang lain di motel, atau juga apartemen pinggiran kota yang lembab. Sembari menghangatkan, sambil menuang sejuntai kenangan, lantas kalian diam-diam berkeluh, tak lagi menimbulkan riuh. Sementara asli kekasihnya, di ruang gelap, sedang menggerus nadi dengan tajamnya belati. Bersebab tak sanggup mendekapmu, dia menyesal dan lantas berdalih mati. Maaf Sayang, aku harus menyebutnya banci.

Esoknya, hujan tiada reda pada pelataran rumahnya saja. Segala tangis tumpah, meratapi perginya pria muda yang putus cinta.

"Dia anak baik. Tapi mengapa sebegitu cepatnya dia pergi?" ibunya berkelit.
 

"Tuhan mungkin sudah sangat merindukannya. Oleh sebab itu, dia dipanggil sesegera," lanjutnya menimpali.

Oh, pantaskah Tuhan rindu kepadanya? Yang menghadiahkan ajal, semata untuk kekasihnya. Yang dia sebenarnya tak mengerti, jikalau pada satu waktu, kekasih yang dicintai itu, sedang masyuk menikmati raga lain lelaki. Dan dia, kekasihnya, sama sekali tak pernah memikirkannya. Serta dia, orang yang tercinta, enggan datang pada pemakamannya. Dalam pikirnya, mungkin kisah kalian mirip romansa Romeo-Juliet. Tapi dengan sedikit, atau mungkin banyak dusta dari sang wanita. Juliet tulus mencintai, sedang kekasihmu apa? Lebih hina dari topeng cantik yang dikenakannya.

"Toh dia sudah mati. Tak ada guna, aku menjenguknya lagi," cetus kekasihnya.

Mungkin, itulah sesalnya yang abadi. Maka, Sayang, perkenankan aku benar-benar memanggilnya dengan sebutan banci.
***

KAU, masih memegangi payung terhitammu. Berteduh pada kanopi yang tak menghindarkanmu dari kuyupnya hujan. Kuterka, basahmu rata. Melumuri raga hingga masuk ke dalam lara. Oh, lara milik seorang wanita, yang takkan ada siapapun, bahkan Tuhan, sanggup menerka. Dan siapa pula mengerti, apa yang dimau oleh makhluk bernama wanita, kecuali dirinya sendiri. Sebab mereka istimewa, tak mampu terjangkau berantai logika.

"Sungguh merepotkan saja. Sama seperti hujan," kata rekanku, yang pernah dikecewai oleh wanita tercintanya.

Ya, tiada yang lebih melelahkan daripada menjumpai hujan. Kelak, saat hujan datang, beberapa kaumku berlari menggendong barang-barang. Terburu-buru, hingga tak menghirau akan jerit mata-mata layu. Hujan, juga air bah yang ditimbulkan, menyapa sesiapa di aliran yang dilaluinya. Tak peduli lelaki, anak-anak, ibu hamil, atau nenek renta pun ia sapu seketika.

"Siapa suruh tinggal di situ," kata Bah.

Cuih, siapa pula yang rela menghidupi anak cucu di sana? Mereka, yang gemar berfoya, terlagi tertawa cekikikan bersama minuman pengusir dahaga, enggan memberikan solusi kepada kami. Mereka, yang kami sebut pejabat, atau lebih pas dipanggil penjahat, dengan tega menghardik kami melalui peraturan-peraturan.

"Hei, Bung. Kami punya televisi. Segala tindak tandukmu kami menyaksi. Kami pun mendengar, beberapa dari kalian pernah menertawai perihal perkosaan. Tentang nistanya perbuatan manusia setelah dibekali akal oleh Sang Pencipta. Ketika satu orang melempar candaan tak pantas, kalian terbahak. Tiada dari kalian yang menegur menyalahkan. Oh, itukah kaum berpendidikan? Dan beberapa lagi, menganggap masuk bui bersebab korupsi merupakan sebuah ujian dari langit. Sebegitu picikkah Tuhan, dengan menghadiahkan teguran lewat kenikmatan semu yang kalian anggap suratan? Dan kalian, dengan mudah menghitung-hitung suara, ketika ingin menyelesaikan sebuah masalah. Tak peduli, itu hasil terbaik atau terburuk. Asalkan didukung pihak mayoritas, maka itulah jawab yang pasti diretas.” Aih, maaf Sayang, aku harus keras menyebut mereka banci.
***

HUJAN di luar masih pekat, semakin lebat. Dan kau, sebasah tadi bertambah gigil di sepuluh jejari. Kau masih menungguku datang, bersama karibmu, yang kini menadahkan payung ke arahmu. Aku berjalan, melintasi genangan yang riuh menggetarkan.

"Ah, harusnya kita tidak bertemu saat hujan!" keluhku.

Juga oleh hujan, aku mengingat, ia pernah mengamankan jeritan Maya agar tiada terdengar sesiapa. Ayahnya, yang dulu menghadiahkan kasih, menggendong tinggi kian ke mari, serta menggosok punggungnya jikalau gatal, kini datang lagi ke rumah.

Sosok itu, dulu manis secerah madu. Kekar tangannya, sepenggalah tahun pernah menampar teman lelaki Maya yang hendak memberikan celaka. Cekatnya yang lantang, berlampau waktu pernah hampir mengaung menyelamatkan putrinya dari penghianat. Dan kakinya yang jenjang, dia ingat, sanggup mengayuh sepeda angin demi mengantarnya menuju sekolah.

Kini, bayang itu pulang. Masih dengan kekar yang sama, cekat yang sama, dan jenjang yang sama. Mendekat. Mengarahkan pandang seraya setan yang bergumul dengan nafsu binatang. Dia, yang katanya pemimpin keluarga, mengoyak batinnya hingga kian tiada. Mengambil jati diri Maya sampai tak bersisa. Tetesan tangis, luapan emosi, penyesalan, serta jeritan sakit diteriakkan sekencang-kencangnya. Namun hujan, senantiasa mengamankan suara hingga tiada yang tahu ulah lelaki itu pada putrinya.

"Diamlah. Jangan bilang ibumu," pesannya, sebelum menyayat kembali raga putrinya.

Kini, putri itu seperti ingin mati. Malu, atau juga pilu, dirasakannya setiap jengkal waktu. Orang yang dia sayang, nyatanya lebih hina dari segerombol pria jalang.

Benar saja, sakitmu merekah akibat ulah biadabnya. Kau lemas, tak siuman, bahkan kau lupa atau sengaja melupa dirimu sendiri. Entahlah, kau hampir mirip seorang putri yang mati suri. Maka, tak mau memandang kau menangis taklid, tak ingin melihat kau mengais jerit, lantas Tuhanmu, dengan iba membawa sari patimu bangkit. Terbang. Menuju firdaus-Nya yang terang. Kini, tiada lagi yang menyakiti. Dan kau, mungkin akan terus membenci, jikalau nanti, pada persidangan agung, dipertemukan dengan jalang itu lagi.

Bajingan ayahnya! Tanpa maaf, Sayang. Aku harus teriaki dia lantang: Dasar banci!!!
***

AKU tiba di hadapmu. Masih hujan, di samping payung kami. Tetesnya pelan, namun pasti. Kau berbasa-basi sejenak, sebelum menitipkan sesuatu pada karibmu, ketika aku memandang jauh. Singkat nian pertemuan kami, tak sanggup berkisah apa-apa, atau juga sangat dibatasi lonceng kereta. Aku bergegas, bersalam padamu, menjauh. Kau, dari picing matamu, terlihat masih membekaskan pandangan ke arahku. Semakin lama, semakin nyata kaurasa.

Keretaku melaju, karibmu juga melagu, bersamaku.
***

DI sepenggalah ragu, karibmu berkata pelan, sambil menyodorkan sebuah bingkisan bergaris ungu dominan biru.

"Ini darinya, untukmu. Terimalah!" katanya.

Aku terkejut. Aku tak mengira. Dengan segera, kubuka isi di dalamnya.

"Kemeja batik," jawabku.

"Pakailah, kelak kau selalu mengingatnya ketika baju itu olehmu seraga," karibmu menambahi.

Maka Tuhan, perkenankan aku memutar waktu tuk kembali. Supaya eloknya kian damai tergenapi. Agar halusnya menjadi lesung-lesung yang mewarni. Oh, adakah pembuktian dari seorang lelaki untuk wanita yang gemar menyayanginya suci? Tegakah Kau, menyaksi setiap pagi dia bermimpi, mengharapkan aku datang dan mengecup keningnya pasti? Tuhan, Kau Maha Tega.

Keretaku masih menyapu basahnya rel yang terhujani. Sementara malam menguap, sejenak ruangan menjadi kian sesap. Mataku memejam, diam-diam hitamnya berkata: Selamat malam.

Sayang, maaf, aku terlebih dahulu harus bercerita tentang lelaki gagal cinta yang bunuh diri, mendongeng realita wakil rakyat di negeri bedebah ini, juga berkisah akan pria dituahkan yang menghadiahi putri kandungnya trauma abadi. Bukan bermaksud apa, hanya saja, aku ingin membagi lukanya dunia kepadamu. Kelak, mungkin saat bersama, kita akan sembuhkan luka itu perlahan. Sampai hilang, hingga tak berbekas lagi. Itulah seindah-indahnya janji. Maka Sayang, maaf, tolong jangan pernah kausebut aku banci!
(IPM)

Bandung, Januari 2013
#Ilustrasi diunduh dari sini

Followers