Kecewa yang Dibagikan Cuma-cuma

January 28, 2013



IBU, maafkan aku telah mengecewakanmu. Kau tahu, beribu doa murni nun tulusmu telah aku ubah menjadi dosa yang tak terampuni. Kau panjatkan perihal terbaik dan sempurna dalam berlarik kalimat untuk anakmu, tapi apa balasannya? Memikirkan kesenangan diri sendiri adalah jawabnya. Tak sering dalam setiap tangismu, ada rautku yang tertawa terbahak-bahak. Aku pun enggan tertegun menatapmu tajam. Kubiarkan semua seperti ini, hingga nanti, hatiku kian berkarat dan tak berpendar lagi.
 
Tidak! Ini bukanlah untaian untuk menyalahkanmu. Tiada pula penyesalan tentang bagaimana Tuhan menghadiahkanku kau. Dan maaf, aku tak pernah mencium wangi telapak kakimu yang kata kalian sanggup membawa kita menuju nirwana. Namun, sebenarnya apa itu nirwana? Pernahkah kau berkunjung ke sana? Tiada yang menjawab, hanya membayangkan itu benar adanya. Oh, dan kita percaya.
***

AKU lupa. Aku tak ingat jikalau Ayah telah pergi ke sana bertahun lalu. Tanpa pamit. Tanpa pula berkirim surat sesampainya di sana. Namun, aku tak berani meminta Ayah untuk bercerita. Sebab, Ayah pasti di sana sedang menangis tersedu menatapku. Hingga air matanya tak lagi bening, melainkan semerah darah yang kental beraroma nanah. Maafkan aku, Ayah.

 
Kalian tahu, perihal orang yang sudah mati bisa melihat kelakuan orang yang dicintainya di dunia. Dia sanggup memerhati kau berbuat apa kepada yang lain, kepada dirimu, atau juga kepadanya. Barangkali, jika yang ditatapnya ialah baik sebagai mana indahnya ekspektasi, boleh jadi dia akan girang sendirian di surga. Tetapi, yang dipandang Ayah adalah sebaliknya, dia bersedih menyanjung orang yang dicintai berbuat keji dengan bangga. Sebentar menyesal, sementara berikut gemar mengulangi kesal. Tak pernah jera. Itulah tabiat manusia, tak seperti Ayah, yang hampir sempurna di mata anak-anaknya. Maka kukatakan pada Ayah, bahwa tak usah mencintaiku lagi sebagai anaknya. Maaf, aku tak mau membuat Ayah kecewa.
***

AYAH sebaiknya mengikuti gerak-gerik Adik saja. Dia rajin, pintar, tak pernah angkuh, selalu patuh, juga taat menyembah Tuhan kita. Ayah tahu, Adik senantiasa duduk di sofa ruang tamu sesaat setelah yang lain tidur. Adik membuka suratan Tuhan yang kemudian dibacanya pelan. Hingga lelah, hingga dia bosan dengan kaligrafi yang tertera. Lalu, barulah Adik menyusul yang lain tidur.

Tak heran, jikalau dulu Ayah sibuk memanjakan Adik. Tak kaget, bahwasanya segala keinginan Adik terpenuhi, bahkan sebelum dia merengek meminta Ayah membeli. Setelah kuungkap seluruhnya, kutanya, pernahkah Ayah merasakan sesal ketika dianugerahi Tuhan dengan aku? Kalau terkaan Ayah benar seperti itu, sungguh, Ayah telah berpikir hal yang benar. Maka, lihatlah ke arah Adik, Ayah, jangan ke arahku!
***

KEPADA yang lain: Nenek, Tante, Om, Paman, Bibi, tetangga, teman sejawat, serta berbagai orang yang menganggap benar pada diriku. Maaf. Hanya itu yang sanggup kuucap. Sebab, aku ketakutan mengakui semua. Khawatir tiada seseorang yang menginginkan merengkuhku pelan, serta berpaku ketika kulantangkan suara ini dan itu. Namun, inilah aku. Yang memakai topeng untuk menutupi lekuk terburuknya. Yang menghadiahi senyum, sebelum mencabik kalian tak bersisa. Yang pernah kalian terka sebagai malaikat, tetapi nyatanya hitam selegam iblis jahanam. Oh, tak usah berlari menjauhi. Kalian tak sadar. Bukankah kalian juga memiliki topeng masing-masing? Dan topeng itu kalian kenakan secara hati-hati, agar tak seorang pun menyadari. Aih, kita sama-sama munafik, bukan?

Kalian tahu, mengapa aku bercerita panjang lebar di sini? Tiadakah aku malu jikalau setiap orang memusuhi? Atau, bisa saja bersebab tulisan ini aku dimaki. Namun, aku tak percaya bahwa setiap orang adalah pemarah. Ada jiwa terlembut bahkan dalam diri seorang pembunuh terkejam. Yang memaafkan sesamanya ketika dia jatuh dan meronta. Namun, jikalau tak ada, barangkali dunia telah sampai pada pucuk usianya.
***

INGATKAH kalian tentang berpuluh cerita yang kuhadiahkan kepada bermacam wanita? Ada Tya, Nura, Senja, Dinda, Rara, Revi, Dara, juga yang lain di halaman kelamnya. Sejujurnya, semua tak lain ialah bentuk kecewa kepada semua. Kepada mereka yang memberiku waktu untuk berpikir mengalun berantai fiksi cerita. Sebenarnya, aku tak ingin menjadi penulis, terlagi penyair. Kurasa, itulah sekeji-kejinya profesi. Yang membuat seseorang melayang terbuai akibat berlarik tulisan, namun hampa, atau juga rekaan yang sejatinya melekat di dalam. Sungguh, kekecewaan ini melambung kian tinggi, dan karya tulisku semakin mewangi membentuk berbagai elegi. Aih, seharusnya akalku tak untuk mereka, cukuplah aku sebagai tokoh dalam cerita.
***

JIKALAU kalian pernah merenung, sempatkah kalian berpikir jikalau yang paling dibutuhkan ketika kecewa adalah seorang teman. Yang mewujud mendengar, terlepas dia lelaki ataukah perempuan. Namun, tak semua teman bisa menjadi tempatmu berbagi. Sebagian lain bisa jadi membagi kisahmu ke dunia, yang tak ingin dia mengetahuinya. Dan bilamana terjadi, pastilah penyesalanmu menjadi kian abadi.

Namun, pernahkah kalian menganggap bahwa yang paling mengerti kalian adalah diri kalian sendiri? Yang setia menemani walau keadaan di luar basah, kering, sedih, ataupun luka. Yang menghadiahkan kecewa ketika kalian berbuat salah. Yang memberi bingkisan senyum saat dunia menatap kalian bangga. Yang tak pernah kalian ajak bicara di setiap akan tidur bersama. Oh, lantas ketika diri kalian sendiri yang mengerti apa yang dimau, mengapa tak kalian nikahi diri kalian sendiri? Percayalah, dia tak akan mengkhianati rasa, tak juga berpaling ke yang lain. Maka, kusanjung, kalian sejenak buta.
***

SEKALI lagi, ini hanyalah cerita usang di penghujung malam Januari yang kelam. Ketika kutuliskan, langit di luar tak secerah kemarin. Udara tak sedingin momen sebelumnya. Dan bajuku, tak sekering beberapa saat yang lalu. Entahlah, ada air mata luruh yang kujatuhkan tiba-tiba. Tak tahu dari mana datangnya.

Oh, ini tentu bukanlah analogi untuk mengisi kehampaan diri. Bukan pula kisah untuk melukiskan duka pada saat-saat bahagia. Ini hanyalah akumulasi kecewa yang kubagikan cuma-cuma. Jikalau tak berkenan, silakan kaumaki dan kaubuang ke jalan.

Oh, tolong tuntun aku! Sebab, ini hanya aku, yang tak mengerti arti hidup, tanpa-Mu.
(IPM)

Bandung, 28 Januari 2013
#Ilustrasi diunduh dari sini

Followers