Feromon Syndrome

February 28, 2013



Hidup ini laksana panggung dunia yang penuh dengan lakon-lakon pemberani. Maka, yang pengecut silakan mundur, yang penakut silakan kabur.

Aku bercerita tentang hari yang kita rajut bersama di akhir Februari. Hari yang cerah, ketika mentari tepat pada sumbu ordinatnya, kita bersua. Membawa sisa-sisa air yang masih menempel pada wajah. Air itu, sungguh akan membekaskan rona hingga kian menyilaukan, mendinginkan yang datang, serta mendekatkan yang akan berlalu lalang. Konon, akan tiba waktunya air itu menjelma menjadi cahaya pada gelap gulita yang sejati, saat mentari telah digulung rapi, dan pekat meraib sahabat sejati.
 

Kotak-kotak putih biru, bercampur merah hati, berselimut tudung coklat susu, itulah serampai warna untuk topeng kami. Indah, dengan paduan canda serta senyum yang selalu tertoreh mesra. Oh, seperti inikah sepasang insan yang sedang dibuahi sebongkah perasaan? Adakah setiap kasih akan tetap mewangi selaksana ini?

Jawabnya satu, tergantung pada kita. Sebab, telah terangkai indah dalam hukum tentang cinta: wanita yang baik, hanya untuk lelaki yang baik dan sebaliknya. Kemudian soal jodoh, ialah bagaimana caramu membangunnya. Dan Tuhan, sebagaimana menyetujui, ketika umat-Nya telah berusaha menyanggupi.

Darimu hari ini, aku mengerti tentang berantai hal baru. Tentang mekanisme cinta menurut dosenmu, yang kau kenalkan padaku tokoh bernama Feromon dan Femero Nasal Gland. Konon, pada sebuah kisah, Feromon ialah hormon yang ada pada setiap manusia, tetapi lebih banyak dimiliki wanita. Dan Feromon akan menguap ketika terkena cahaya mentari. Satu Feromon hanya akan cocok untuk satu Feromon yang lain. Dan akibat Feromon, seseorang bisa tertarik pada lawan jenisnya. Perhatikan saja, apa yang berubah dari seorang gadis saat Feromon tamu bersambang pada Femero Nasal Gland? Barangkali, dia akan lebih merah pipinya, lebih mekar lesung pipinya, atau juga lebih bersolek dibandingkan hari-hari sebelumnya. Oh, itulah Feromon-ku, semoga teruntuk Feromon-mu.

Juga pada hari ini, aku menjadikan diriku sebagai pemimpinmu di dua waktu: sepenggalah petang dan seujung pelupuk malam. Ya, seperti itulah kodrat seorang lelaki, ketika diminta menjadi pengedepan di antara yang lain, maka dia menawarkan diri. Dan, bukankah sekarang ialah waktu yang tepat untuk latihan? Saat datang masanya, semoga aku lebih lihai memapahmu menuju jalan-Nya.

Kemudian, es krim coklat-merah muda, serta ungu-kekuningan menguatkan kata untuk saling mengucap bicara. Kami hanya duduk, bersebelahan, tetapi pikiran kami telah lari menjauhi segenap angan. Terbang. Menuju relung-relung sepi yang siap dirajut berdua diri. Lantas, kuberi tahu kau bagaimana menciptakan sebuah pertemuan yang tiada melahirkan secarik bosan. Kuajarkan kau tentang bagaimana kesetiaan berlandaskan kepercayaan. Serta kau pahami, aku selalu mengiangkan kalimat ini: Kekasih baik yang tidak dirawat, akan menjadi mantan kekasih yang dirawat orang lain. Maka, aku merawatmu sebagaimana kau merawatku.

Di ujung diari ini, aku ingin mengucap beberapa kalimat syahdu, perdengarlah: Ketika nanti aku berubah, tolong ingatkan aku akan hari senja pada 18 Februari silam. Ketika aku merutuk sedih dengan problematika dunia, tolong lukiskan senyum dari lesungmu pada wajahku yang lusuh tak bertenaga. Ketika aku menimang bimbang pada sebuah keputusan, tolong tuntun aku dengan meremehkan kepastian. Ketika aku melupakan segala, tolong papah aku mengeja kata-kata cinta. Dan ketika aku tahu kaulah kekasihku, tolong bantu aku menggamitmu, membawa lekas bayangmu, menjadikannya satu, dalam ribahan kasih, serta bermandikan lentera pelangi.

Dengan berani, kucipta larik ini. Dariku, teruntuk kamu: Anisku.
(IPM)

Bandung, 28 Februari 2013
#Ilustrasi diunduh dari sini

Followers