Wanita yang Ingin Senantiasa Bermata

February 10, 2013



HAWA dingin berselimut mesra tak terpisah. Seakan, mereka tiada mau memagut satu sama lain tanpa kuasa. Kelam, atau juga hitam, terlukis indah dalam singgasana Tuhan di luar sana. Bermandikan kerlip bintang, torehan cahaya rembulan, serta rintik kembang api tengah malam.

Kau terdiam, bimbang. Bahkan, kau masih menerka, kiranya terdapat hal istimewa seperti apa, yang membisingkan telinga di tengah senyapnya malam. Malam bagimu, ialah anugerah teragung selain perkara hidup, mencintai, dan dicintai. Tak seperti malam-malam sebelumnya, di mana kau bebas merangkai asa dengan gelapnya. Malam ini, sungguhlah sangat berbeda.

“Kembang api? Mengapa mereka tercipta di malam ini?” desahmu.
 

Oh, Anis, adakah kau lupa jikalau perhitungan tahun menorehkan banyak versi? Kelak, di setiap keyakinan memiliki kalkulasi sendiri-sendiri. Masehi, yang berpegang teguh pada matahari. Hijriah, dengan melandaskan angka pada rembulan yang beredar sesuai kehendak-Nya. Atau juga malam ini, penambahan angka yang disebabkan oleh akar-akar pemikiran manusia yang berbeda.

“Berbeda itu indah, bukan?” ujarku, sementara kau, masih merenungi malammu yang terusik gemuruh.
***

ENTAHLAH, darimu aku belajar tentang beberapa hal. Perihal waktu tidurmu yang sanggup kau rapel menjadi akumulasi. Atau kisahmu, yang enggan menghadiahkan pejam karena takut menyesal tidak memanfaatkan. Anis, kau selalu bermata di setiap malam.

Sebenarnya, aku tak tahu apa saja yang kau kerjakan. Mungkinkah kau berpaku pada sesal terdahulu sehingga tiada tertidur kelam? Akankah kau terlalu menyukai malam, serta sesiapa yang hadir dan berbincang tentang segala kejadian? Atau, adakah kau begitu sibuk, sampai-sampai tak membuahkan waktu untuk terlentang?

“Ah, tidak. Sibuk ialah keadaan ketika kau tak memiliki waktu makan dan tidur. Namun, selagi kau mempunyai salah satu di antaranya, barangkali predikat itu tak layak kau sandang sempurna,” katamu panjang, ketika salah satu temanmu memberikan petikan.

Ya, boleh jadi kau memang amat, atau mungkin sangat mencintai malam. Ujarmu, pada malam, kau menemukan satu sisi jiwamu yang lain. Jiwa yang ingin merekah tepat pada waktunya. Hingga ketika kau sedang menunggu rekahan itu, kau mengisi waktu dengan bergelut pada berbagai rutinitas. Ada kalanya kau menuliskan bermacam ilmu yang kau peroleh ketika mempelajari kehidupan, menjalin kontak dengan berbagai fenomena sosial, atau juga mencipta karakter, yang didesiskan tiada banyak berdiri tegak pada tahun-tahun pekak.

Semuanya positif. Seakan tiada celah bagi kesedihan mengisi lembar harimu. Padahal, aku tahu, ketika seseorang sedang berada pada rentang usiamu, ada banyak dari mereka yang bimbang mengakhirkan masa depan. Lantas, mereka hanya terdiam menanti takdir mengusiknya. Oh, bukankah takdir Tuhan itu dicipta berdasarkan keinginan manusia? Ingatkah mereka, saat-saat Tuhan berjanji bahwasanya akan mengubah takdir ketika manusia berani mengambil jalan berusaha? Namun, mereka tiada mengerti. Dan kau, kusanjung lebih paham dariku, yang bercerita tentangmu.
***

CANTIKMU, katamu, adalah ketika paras selaras dengan hati serta caramu membawa diri. Oh, itukah kalimat terindah yang pernah tergurat dalam hidupmu? Selayaknya kata penyair terdahulu, bahwasanya tugas wanita bukanlah mencari pria terhebat, tetapi bagaimana memposisikan diri agar ditemukan oleh pria-pria hebat. Cobalah kau pahami, rasanya begitu mirip kalimat itu bersajak dengan kalimatmu. Kutengok, kau berbeda dengan yang lain.

Aku masih mencerna larik darimu tentang pernyataanmu yang diterka orang sebagai pribadi terbaik. Namun, kau berkesah, jikalau dirimu tiadalah sebaik seperti yang kalian terka. Kau bersyukur, ketika Tuhan masih setia menutupi segala kurang dengan topeng yang rupawan. Tetapi, tak usahlah kau ragu akan baik atau tidaknya dirimu. Bukankah semua orang di dunia kini sedang memakai  topeng terbaiknya? Terlepas apakah wajah tiruan itu mencerminkan pribadinya atau bukan? Jawabnya retoris, yang jelas, manusia menyukai hal-hal terindah nun manis.
***

MALAM, memanglah waktu terindah bagi beberapa golongan manusia saja. Saat malam, boleh jadi beberapa dari kalian sedang masyuk bergumul dengan kerutan sprei yang dingin. Yang menghadiahkan kalian bunga tidur tak nyata. Dan ketika kalian terjaga, banyak dari bagian episode mimpi yang terlupa. Barangkali itu mimpi terindah kalian, yang sangat diharap berbuah kenyataan.

Sedangkan golongan yang lain, ada segelintir manusia yang menengadah menyambut wajah Tuhannya. Mereka usap rona itu dengan lembut, seraya bersaksi dan berjanji ini-itu demi keberkahan hidup. Oh, sungguh apa yang membuat mereka berlaku? Adakah hanya surga yang ingin mereka rengkuh? Ucapnya ketidakpastian. Aih, setiap insan hanya takluk oleh ketidakpastian. Hingga semua terjawab, barangkali mereka telah menikmati hasil yang mereka dapat.

Maka, kuingatkan engkau sebelum lengah, “Sudah saatnya kita mengetuk pintu-pintu Tuhan. Waktunya telah tiba, segeralah.”

Sungguh, kau langsung beranjak dari tempatmu. Mengambil percikan air yang mencahayakan lekuk-lekukmu. Disapunya wajah, selaksa ada sinar yang silau di sana. Dibilasnya tangan, semampu halus enggan bersambang. Dan dibasuhnya kaki, yang menghadiahkan langkah ketika kau ingin menggapai mimpi. Kau mulai bersedekap, dan salammu menyapa sesiapa yang kasat.

Sembari menanti pagi, tanganmu yang lentik menengadah menyuarakan berantai doa. Pelan. Perlahan. Khas sekali bak ratu yang tengah menghapus elegi. Dari sini, bau surgamu tercium wangi.
***

“ANIS, sudah pagi. Kau belum mau tertidur?” sesapku, yang menanyakan posisimu di tengah kelabu malam.

Kau masih membalas percakapan itu. Kusimpulkan, kau masih setia bermata, mengisi malammu dengan berbagai peristiwa. Aku mengenalmu tidak sebegitu lama, hanya sepenggalah masa. Tentangmu, aku juga tak mengerti tentang segala. Bahkan, aku tak tahu-menahu akan apa yang kau suka, serta apa yang kau benci secara sempurna. Namun, tidak ada dalam anganku untuk ragu, ketika kujanjikan melukismu dalam helai kertas yang berisikan metafora hidupmu.

“Aih, kau sangat percaya diri,” pungkasmu, menilai lagakku yang sepertinya benar begitu.

Tapi maaf, sungguh, aku ialah lelaki dengan segala perkataanku. Ketika aku berjanji, akan segera kutepati, sebelum pula kau menagih. Seperti cerita yang lain, kadang kala sengaja tercipta indah, tetapi bertahan pada relung yang tiada paripurna. Namun, dalam resah ini, harapku satu: Anis, sudihkah kau mengeja lagi kisah ini di lain waktu?
(IPM)

Bandung, Februari 2013
#Ilustrasi diunduh dari sini

Followers