Potret Ibu

March 01, 2015




Ribuan kilo jalan yang kautempuh, lewati rintangan untuk aku anakmu...
Ibuku sayang, masih terus berjalan, walau tapak kaki, penuh darah, penuh nanah...

Cukupkah larik tersebut menggambarkan seluruh resah yang pernah diretas seorang Ibu? Pernahkah Kau membayangkan menjadi dirinya, yang rela tak digaji untuk mengurus manusia-manusia kecil tak berakal yang nakal?
 
Manusia itu bernama Kau, yang tumbuh sedari kecil menggamit kasih sayangnya. Kelak, ketika Kau berubah menjadi remaja, mewujud dewasa, Kau pun melupa segala peristiwa. Sebelum Kau terenyak tangis, kuajak Kau mencari album biru berlusuh debu di sudut-sudut almari kamarmu.

 
Apakah Kau telah menggenggamnya? Apakah butir debu tertoreh di sana?

Coba Kau usap laman awalnya yang perih, yang membisikkan padamu akan seorang bidadari layu bernama Ibu. Mengapa layu? Sebab, Kau tak pernah menyiraminya, hanya ia, dengan segala doa yang membungkusmu hingga kian terjaga. Kau tahu, Ibumulah yang paling dekat posisinya kepada Tuhan, bukan Kau. Dan Tuhan, menakzimkan telapak kakinya adalah surga.

Apabila Kau tak mengerti tentang apa itu surga, tanyakan pada guru di Sekolah Dasarmu, Sekolah Menengahmu, Institusi Pendidikanmu, atau juga dirimu sendiri. Dalam bayangmu, surga ialah putih cemerlang dengan dipan-dipan yang bermandikan kenikmatan. Pada setiap tepi sungainya, ada rasa yang menghilangkan dahaga. Serta Kau juga harus memahami, salah satu tiket ke sana adalah melalui pemuliaanmu akannya, Ibumu, yang Kau lupakan kala senang, dan Kau tujukan kala sedih menguat pelan. Oh, inikah calon penghuni surga?

Dan barangkali, melalui album kenangan tadi, Kau bisa mengartikan apa itu kasih serta apa itu elegi. Kala Kau kecil dulu, adakah yang Kau mau tak pernah dikabulkannya sesegera?

Meski tubuhnya harus sakit menahan taklid, walau matanya harus merah menahan pejam, atau mau-tak-mau dia harus menemanimu di sepanjang waktu. Oh, adakah Kau selalu membuatnya tertawa? Apakah malah lebih sering Kau menghujamkan panah hingga ia menimang duka? Cobalah tanyakan pada lubukmu, kelak, Kau tiada pernah tahu bagaimana Ibu senantiasa menjagamu.

Suatu ketika Kau beranjak dewasa, melalui masa pubertas serta remaja. Kau pun mulai memperhatikan keadaan lawan jenismu. Kau singsingkan lengan-lengan baju untuk menariknya, Kau julurkan lekat-lekat pandangan ke arahnya, hingga perhatianmu akannya menjadi sempurna. Lalu, berantai waktu Kau habiskan bersama kekasih serta teman-temanmu. Tak pernah Kau pikirkan ia di pelupuk mata. Kau terka, barang siapakah yang menunggumu pulang untuk membukakan pintu? Adakah dia adalah Ayahmu? Ataukah Ibumu yang rela bermata lebih lama?

Juga tentang perkuliahanmu, atau pula pendidikanmu, yang menyegerakan untuk itu adalah Ibumu. Kau, tinggal menjalani. Kebutuhan tercukupi, perhatian terlengkapi, tetapi, pernahkah terpikir dalam benakmu untuk menyapanya di setiap pagi? Kau cukup memberikan ucapan salam, atau juga kalimat tipis bernada kasih sayang. Itu pun jikalau Kau bersedia, setidaknya menyiapkan topeng yang seakan-akan Kau peduli akannya.

Kau picik, bukan? Kepada Ibumu, Kau berpura-pura.

Pada hari yang lain, Ibumu sedang sempurna dalam kekhawatiran. Ponsel yang dia titipkan padamu bukanlah bertujuan apa-apa selain bertukar kabar yang lancar. Lalu, Kau menggunakannya untuk kebutuhan lain, yang mendosakan sesal pada benak dirinya. Kau tak bisa dihubungi, Ibumu tak pantas berdiam diri.

Kemudian, ketika Kau datang, Ibumu langsung memarahimu, mendendangkan kata-kata bernada tinggi luapan makna khawatir. Kau yang tiada mengerti, malah ikut menghardiknya. Apakah Kau sebegitu bodohnya, jikalau kata-kata itu yang nantinya akan Kau rindukan ketika Ibumu telah tiada? Dan mungkin, Kau hanya akan terpenuhi sesal, tanpa dia yang menghela kesal.

Masih tentang kasih sayangnya, tak pantas jikalau Kau menduakannya untuk seseorang lain yang Kau anggap lebih mulia. Jawab, Kau! Siapakah itu? Ah, Kau hanya terdiam. Tak berani menampakkan sungutnya yang tajam. Sungguh, tiada yang lebih jernih dari matanya yang menerawang kesedihanmu, pundaknya yang Kau tenggelamkan amarahmu pada dunia, serta bibirnya yang menghadiahkanmu jalan-jalan lurus menuju cahaya.

Aih, apakah yang membuatmu rela menyiakannya?

Suatu saat, Kau berhasil menaklukkan dunia. Hartamu berlimpah. Istri atau suami, serta anakmu tumbuh sempurna. Lalu, adakah riwayatmu meraupkan kenang, pada sebuah sosok yang kelam akan hitam? Kau tentunya pernah mendengar tentang kisah rakyat yang meluapkan sesal kepada seorang putra durhaka. Dan sesalnya, seakan menjadi pelajaran hingga kisah itu melupa. Masih beranikah Kau lupa akannya?

Maka, di akhir ceritamu yang singkat, kusadarkan Kau tentang betapa berharganya Ibu dalam hidupmu. Sudahkah Kau mengirim secarik kabar padanya hari ini? Kau ingat, dua puluh tahun silam, tepat di hari ini, Kau lahir, meninggalkan rahim kokohnya untuk menatap dunia. Setelah tahu segemerlap apa lampu kota, Kau merasa silau dan mulai menutup mata.

Kalau pada akhirnya Ibu tahu tentang kelakuan anak-anaknya, masih sudihkah Ibu melahirkanmu, memandikanmu, menyusuimu, melagukanmu, serta menjadikan perihal hidupmu menjadi sempurna di balik lekatmu?

Jawabnya, iya. Sungguh, Ibu tak menginginkan apa-apa, hanya memintamu untuk tidak cepat-cepat melupakannya...
(IPM)

Bandung, 2013-2015


#Ilustrasi diunduh dari satu, dua

Followers