Kamu Tentangku

January 31, 2014



Aku

Aku lebih dulu menemukan sorotmu yang sayu. Tentu lebih awal aku, menangkap potret utuh lekukmu kala berjalan mengitari koridor. Aku tak sengaja menunggu kau lewat di antara barisan yang duduk mengintai bahan obrolan. Semua alami, hingga aku sadar, kamu, memang seseorang yang aku jatuhcintai.

Perkenalanku denganmu dimulai secara tidak sengaja. Kala itu hujan turun deras. Lepas. Membuat ranting kering terurai menuju tanah. Rintik itu basah, merayap menyusuri jalanan-jalanan kota. Kau terdiam tak hendak ke mana. Padahal hatimu, aku sangat yakin tengah gelisah. Lantas, merupa ksatria, aku menawarimu ‘jasa antar pulang’.


Ah, itu bisa-bisanya aku saja. Jujur, jalur teduh boulevard kampus saat itu sangat ramai. Banyak muda-mudi yang menunggu hujan reda. Namun, entah mengapa, justru kamu yang kutunjuk untuk berada di kabin sebelah kiri. Bajumu cukup kuyup, sebab payung ini teramat kecil dipakai berdua. Tapi, kuyupmu itu mewujud alasan jaket kulitku memeluk.

“Aroma parfummu lembut juga, masih melekat di sisi dalam jaketku,” ujarku saat pertemuan kita yang kedua. Tak tahu mengapa, hujan selalu hadir menemani. Namun, kali ini hanya gerimis. Yang lentik. Yang halus menguakkan hawa ingin menciumi bau tanah. Kau bercerita tentang ini-itu. Dari bahan sarapan tadi pagi, wajah kusam dosenmu yang marah-marah di tanggal tua, hingga setelan apa yang ingin kau kenakan saat tidur nanti; baju tipis berserat sifon, atau piyama garis-garis.

Kamu pakai apa saja pasti tetap cantik, aku membatin. Setelah renung tadi, aku yakin, atau teramat yakin bahwa aku mencintaimu. Tuhan, buat kamu selamanya untukku.

Kamu

Kamu menikmati pertemuan kita tiap jengkal waktu. Pagi, siang, petang, atau bahkan dini hari. Terkecuali, malam, saat di mana kamu selalu sukar ditemui. Tak tahu. Aku tak mengerti kegiatanmu saat malam. Mungkin, kamu tengah belajar ilmu kinetika di selang tersebut. Barangkali, kamu sedang sibuk mengerjakan tugas dari dosenmu, yang mengutusmu untuk segera mengumpulkan topik tugas akhir.

Kamu pelan-pelan menjauhiku. Alibimu satu: ingin fokus mengejar wisuda Juli. Kau mau tak mau harus menginap di lab, sekadar menunggu timer tungku selesai bekerja. Dan, suara khas wanita pun tumbuh, memintaku untuk lekat-lekat tak bertemu.

Awalnya tiap hari, lalu melambat seminggu sekali, kemudian sebulan, hingga aku lupa kapan terakhir kamu menemui. Kamu, semakin menggila dengan sifatmu yang kaku. Dingin. Hambar. Sesekali kamu berkabar, hanya sekadar basa-basi picisan. Kalimatmu ringkas, “Halo, bagaimana kabarmu? Aku baik.” Dengan tergopoh, aku membalasnya cepat, tentu dengan kalimat-kalimat bijak nun merayu.

Dia

Dia tetiba mendekatimu. Dengan jurus menyeringai lapar, dia mengurungmu dengan pesonanya. Kau tergeletak, tak bisa menolak. Sampai akhirnya kau menyerah, diam sejenak, dan berkata ‘bersedia’.

Kamu menggandeng tangan dia ke mana pun, semacam takut terjatuh apabila tak dituntun. Sejenak, kamu mulai terbiasa dengan hal itu. Tak sanggup aku mendengarnya, kala rekanku berkisah tentang kebersamaan kamu dan dia.

Siapa dia? Mengapa harus dia? Siapa aku? Mengapa bukan aku? Itu tanya, sekaligus kekecewaan. Hampir sebulan berjalan, aku baru tahu tentang jati diri dia, yang menggamitmu pergi, hingga pulang lagi.

Tapi, aku malas membahas dia. Biarlah...

Aku

Aku membencimu. Amat sangat membencimu. Kau tak tahu. Atau, mungkin kau berpura tak merasa. Batinku tercekat. Uluh nadiku terasa tak lagi melekat. Aku menyesal jatuh hati. Aku merasa salah langkah, saat memberimu tumpangan di tengah rintik lebatnya. Aku keliru, mengharapkan senyum serta-merta teruntukku.

Kamu. Aku benci kamu...

Kamu

Kamu membenciku sejadi-jadinya. Hampir tak ada kata maaf lagi. Dia, hanyalah pelarianmu. Sosok yang tercipta semata tak ingin mengingatku lagi. Kamu terluka karenaku, yang tidak kunjung memberikan kepastian. Wanita itu peragu, dan kamu mengharapku agar teramat memahami frasa itu.

Kamu sebenarnya mencintaiku, hanya saja aku, terlalu takut untuk mengikat janji terlebih dahulu...
(IPM)

Bandung, Januari 2014

Followers