Yang Terbaring di Bawah Batu Nisan

August 01, 2014




Barisan batu nisan tertata amat rapi mulai pintu gerbang hingga pagar pembatas pemakaman umum ini, sementara perasaan Santi begitu berlainan. Hati Santi berkecamuk tak karuan sejak turun dari kendaraan dan memilih bunga taburan untuk sebuah makam. Ya, sehari sebelum bulan puasa, Santi selalu menyempatkan diri untuk singgah ke tempat ini.

“Aku rindu mengucap salam dan bertemu dengannya,” desis Santi ketika ditanya oleh rekannya akan alasan mengapa bergegas ke sana.

Santi sendirian, tak berteman sesiapa. Sebab, susah rasanya mencari kawan yang mau diajak ke pemakaman. Mereka beralibi ngeri, seram, atau juga takut. Sebagian lagi malah diam, tak memberi jawaban.

“Sebenarnya pemakaman tidak seberapa menakutkan,” lanjut Santi, “Lihatlah, beberapa anak kecil gemar bermain di sana. Meloncat di antara nisan dan nisan. Dari makam tua, berpindah ke makam yang masih basah. Kalau ditengok lebih teliti, justru tak ada raut khawatir dari anak-anak itu.”

Ironis memang, saat iring-iringan jenazah yang akan dikuburkan datang, berpasang mata mengucurkan air kesedihan. Taklid. Haru. Tangis yang tumpah seakan tak ada lagi hari esok menjumpa. Mereka larut dalam prosesi sakral bernama pemakaman. Namun, anak-anak kecil itu, sepulang rombongan tadi hijrah, mereka akan berlarian di atas pelatarannya.

Apa mereka tak bisa merasakan sedihnya ditinggalkan seseorang? Apakah mereka tak menyaksi air mata yang jatuh di sisi-sisi nisannya? Apakah mereka tak ingin tahu siapa penghuni baru di pemakaman itu?

Jawabnya tak peduli. Mereka hanya ingin menjadikan tempat itu lahan untuk berlari, bermain, entah petak umpet, kucing-kucingan, atau jenis permainan lain yang menurut mereka menyenangkan.

“Bagaimana rasanya berlarian di sana sambil tertawa-tawa? Sedang aku, selalu saja merengkuh nisan ini sembari melelehkan tangis. Mengapa aku tak bisa merupa anak-anak kecil itu, yang tidak mengenal kesedihan?” jerit Santi dari dalam hati.

Santi tentu masih mengingat bahwa kebiasaannya ke pemakaman sebelum bulan puasa bukanlah tradisi turun-temurun. Tepatnya, baru beberapa tahun terakhir kemarin. Dia juga tak pernah memimpikan akan menjalani ritual ini. Sebab, apabila peristiwa itu tak terjadi, pasti dia tak pernah tahu bagaimana hidup ini hanya sementara.

Ya, pemakaman mengajarkan banyak hal. Tentang bagaimana kamu diakhirkan di dunia. Akan kesendirian setelah berpisah dengan orang-orang terdekat. Perihal menjalani hidup untuk mempersiapkan segalanya sebelum terlambat. Serta... soal air mata.

“Bahasa yang jujur itu air mata, Sayang. Bukan kata-kata,” ucap Santi kepada suaminya saat mereka tengah bertengkar begitu hebat.

Suaminya yang begitu sabar, dengan tenang menimpali, “Sebenarnya, kita ini bertengkar agar semakin kompak ke depannya, atau untuk berpisah?”

Kalimat itu selalu manjur untuk mengakhirkan sebuah perdebatan. Dan, hampir bisa ditebak, ego yang teramat batu di masing-masing kalbu seketika rontok bak butiran debu. Seperti kata wanitanya, air mata mereka akan tumpah setelahnya. Namun, ini tentang air mata lega, sebab satu masalah telah selesai dengan damai.

“Beginilah cerita duka pernikahan, lengkap dan melekat bersama cerita sukanya,” pungkas Santi saat mengingat kembali memoria pertengkaran pertama bersama suaminya.

Jangan harap menyatukan dua insan itu mudah. Tidak. Sama sekali tidak. Akan tetapi, apa bibir tak bisa membantu mengerti? Apa telinga tak sanggup mencerna sepenggal arti? Apa hati tak mampu meredam buncahan emosi? Semua bisa dibicarakan dengan kompromi.

Begitu berwarna apabila berbicara perihal pernikahan. Hitam-merahnya teramat indah, sekaligus haru. Namun, pertemuan Santi dengan suaminya, Azrul, lebih menarik ketika disimak dibandingkan membahas pertengkaran tadi.

Bagaimana tidak, mereka ialah teman semasa studi. Dekat juga hanya bersebab canggihnya teknologi. Raga mereka jauh. Namun, kabar dan pesan terasa mudah untuk bertemu.

Azrul mengidamkan muslimah yang sejati. Terlalu muluk memang, apabila dibandingkan dengan latar Azrul yang bukan seorang ustadz atau kyai besar. Azrul masih muda, masih kian bimbang menentukan mana benar serta mana salah.

Dalam benak Azrul, ia punya kriteria tersendiri mengenai wanita yang akan dikejarnya. Dikejar? Ya, dikejar. Bukankah sudah kodratnya, lelaki yang mengejar calon wanitanya untuk diperistri? Dan, Azrul sangat memahami itu. Maka, ketika dia mengenal Santi, yang menurutnya cocok menjadi ibu untuk anak-anaknya nanti, dia tak bimbang untuk mengejar.

“Harus sampai dapat!” kata Azrul, saat bercerita kepada Santi sembari mengenang perjuangannya menaklukkan hati bidadari beserta keluarganya. Ayah Santi memang sangat selektif dalam menentukan segala yang terbaik untuk anak-anak mereka, terlagi untuk anak perempuannya.

Azrul tentu tidak tinggal diam. Beragam upaya dijalankan. Dan, delapan tahun sudah terlampau cukup untuk meyakinkan serta melubangi hati Santi dan keluarga untuk mantap memberi restu pernikahan mereka.

“Kamu itu wanita yang menyenangkan. Bila aku melihatmu, aku begitu bahagia. Kamu pun selalu menaati segala perintahku. Tak pernah pula kamu menyelisih pada jiwa dan harta dengan sesuatu yang kubenci. Mungkin, kamulah wanita baik seperti sabda rasul kita,” ucap panjang Azrul setelah setahun usia pernikahan mereka.

Santi sudah paham bagaimana memperlakukan suami. He is the king in his own kingdom. Dan, sebagaimana raja, maka segala tindak-tanduknya wajib dipatuhi, ditaati. Bahkan, dalam kepercayaan Santi, ketika seorang wanita telah menikah, lebih penting patuh terhadap suaminya, dibandingkan kepada ayahnya.

Santi telah mengerti semuanya. Dan Azrul, mungkin ialah perhentian terakhirnya dalam urusan jatuh cinta kepada makhluk ciptaan Tuhan.

“Tuhan tetap nomor satu ya, bukan aku, bukan anak-anak kita nanti. Tuhan yang menciptakanmu, juga aku. Bagaimana mungkin kamu jatuh cinta melebihi kepada Pemilik Hidup ini? Coba bayangkan, bagaimana jikalau Tuhan telah cemburu kepadaku, yang telah kau cintai melebihi cintamu kepada-Nya?”

Santi terdiam.

“Tuhan bisa saja akan murka, Sayang. Maka, cintai aku dengan biasa saja. Dan, aku pun akan mencintaimu dengan biasa saja. Tidak berlebihan,” lanjut Azrul, saat Santi bilang teramat menyayanginya.

Santi masih tak bergeming. Suaminya itu, paham betul bagaimana menjadi imam sekaligus panutan. Maka, air mata Santi pun tumpah. Sekali lagi bukan bersedih, melainkan bersyukur mendapatkan suami seperti Azrul, lelaki yang akan mengantarnya ke surga.

Santi hampir sampai ke lokasi makam yang akan dia ziarahi. Di dekat pohon kamboja itu, beda dua meter dari jalan setapak, makam itu tertunduk lusuh. Cuma setahun sekali Santi ke tempat ini. Sebab, dia lebih memilih mendoakan dari rumah, ketimbang langsung ke sana.

“Aku tak mau menangis terlalu sering. Tak ingin.”

Alunan surah Yassiin bergema merdu di samping makam itu. Sesekali, Santi mengusap matanya dengan saputangan. Sesekali pula, dia membetulkan posisi duduknya sehingga lebih nyaman. Sesekali pula, dia memalingkan muka ke arah lain, memperhatikan pemandangan pemakaman yang ramai menjelang bulan puasa tiba.
***

Langit sore telah mengisyaratkan matahari terbenam. Sudah hampir waktu maghrib. Santi juga telah menyelesaikan segala bacaan dan doanya.

Sembari membereskan perlengkapan sebelum kembali pulang, Santi mengelus batu nisan itu dan berbisik lirih, “Aku pulang dulu ya, Mas Azrul. Semoga Tuhan selalu menerangkan jalanmu. Semoga dosamu dihapuskan oleh-Nya dan kau tinggal nyaman di surga-Nya.”

Makam itu tak bergeming. Santi berlalu, dalam hatinya tebersit satu, “Semoga bersama kematian itu, Tuhan tidak lagi cemburu padamu.”
(IPM)

Surabaya, Agustus 2014

Terima kasih untuk AFP atas bahan dan masukan demi terciptanya cerpen ini.

Followers