Pacaran dengan yang Sepantaran

September 03, 2014




Usia 20-an adalah ambang antara masa remaja yang beranjak menuju dewasa. Pencarian jati diri pun resmi digalakkan. Mulai dari memilih studi yang akan dijalani secara serius untuk masa depan, memikirkan prioritas hidup, hingga belajar mandiri agar tidak selalu bergantung pada orang tua.

Namun, di tengah masa ‘pencarian’ itu, terkadang kita secara (tak) sengaja justru menemukan perihal lain: belahan jiwa. Anak sekarang menyebutnya soulmate, atau kekasih, pacar, gebetan, dan sebutan gaul lainnya.

Bermula dari tempat kuliah yang sama, misalnya, mungkin juga sekelas, punya hobi yang sama, bahan candaan yang sama, pemikiran yang sama, dan akhirnya mereka sepakat untuk berdua dalam cinta (baca: jadian). Ya, pacaran dengan yang sepantaran.

Survei membuktikan, beberapa yang pacaran sepantaran mengaku menjadi lebih semangat menjalani hidup. “Semacam di-recharge gitu setiap harinya karena di-support dia,” kata seorang teman yang baru jadian sebulan. Sementara yang lain, semakin hari malah bingung, bimbang, dan linglung.

Saat ditanya apa sebabnya, mereka menjawab: Gak tahu, setelah ini mau dibawa ke mana?

Pacar itu bisa putus jadi dua: jadi mantan, atau jadi manten. Tinggal pilih!

Beberapa kejadian di bawah ini bisa jadi akan kamu alami apabila kamu pacaran dengan yang sepantaran. Coba dibaca pelan-pelan.

1. Pertanyaan skakmat dari sang pacar.

Sebagaimana pun cantiknya pacarmu dan sesempurnanya dia, pasti akan tetap membuatmu panas-dingin ketika dia bertanya, “Sayang, kapan mau main ke rumah? Papa mau bicara serius sama kamu.” Jawabmu yang tidak siap paling-paling melontar alasan, “Eeee, iya, Sayang, entar ya kita omongin lagi. Aku masih sibuk ngerjain TA. Dosbing udah kasih deadline seminar.”

2. Ditinggal pacar lulus duluan.

Entah sebab perempuan itu dianugerahi ‘tingkat kerajinan’ yang lebih tinggi oleh Tuhan atau apa, biasanya di lapangan akan terjadi fenomena pacaran sepantaran dengan sang pacar (si perempuan) mampu menyelesaikan TA dan lulus duluan ketimbang lelakinya. Senang sih menyalami pacar sendiri yang sudah bergelar sarjana. Tapi dalam hati, beh, tak karuan sedihnya karena masih berstatus mahasiswa. Apa? M-A-H-A-S-I-S-W-A.

3. Dikode dengan posting pernikahan teman dan sejenisnya.

Seperti malam minggu biasanya, para pelaku pacaran dengan yang sepantaran pasti akan jalan ke luar. Entah nongkrong cantik di kafe walau cuma pesan kopi dan snack, duduk anteng berdua di taman kota, atau melipir ke bioskop yang lagi ramai-ramainya. Lalu, di tengah pembicaraan sang perempuan tetiba menunjukkan gadget-nya ke wajah lelakinya, “Sayang, coba lihat deh, di Path si Anu, iya, si Anu, katanya bulan depan dia akan resepsi lho. Kita diundang. Kita datang ya. Oke?” Jawabmu pasti, “Iya,” sembari menghela napas sangaaaaaaaaat panjang dan muka tertunduk lesu. Dalam hatimu berbisik, “Sabar ya, Sayang, tunggu aku lulus dan kerja bener dulu, baru aku nikahi kamu.”

Akan tetapi, tenang dulu, semua kejadian di atas punya solusi untuk kamu yang sedang atau akan menjalani yang namanya pacaran sepantaran. Coba disimak!

1. Sang lelaki harus super duper visioner.

Kamu, untuk para perempuan, harus mendorong pacar sepantaranmu untuk lebih berpikir ke depan. Bahasa kerennya, visioner. Sang lelaki juga mestinya sadar dan bertanya dalam diri sendiri: Mau sampai kapan pacaran terus? Aku harus berubah!

Kalian bisa menabung sejak dini untuk keperluan bersama ke depannya. Bagaimana pun kaya dan borju-nya orang tua masing-masing, akan tetap lebih terhormat apabila resepsi pernikahan kalian menggunakan biaya sendiri. Kata orang mah, lebih punya greget. Terlagi kehidupan paskah menikah, pasti deh urusan UUD (Ujung-Ujungnya Duit) tidak terelakkan.

Caranya? Bisa membangun bisnis bersama waktu kuliah, atau sang lelaki mulai tuh cari-cari internship agar setelah lulus bisa langsung punya link kerja. Bukankah lelaki bertanggung jawab akan memastikan perempuannya terus berbahagia ketika bersamanya? So, let’s get your extra miles!  

2. Sang perempuan harus super duper sabar.

Pada usia 20-an akan banyak sekali perempuan yang siap dinikahi, sedangkan lumayan sedikit lelaki yang siap menikahi. Kalimat ini sepertinya ada benarnya. Terlebih ada anggapan bahwa perempuan pada umur 23 dianggap sudah waktunya untuk menikah, sedangkan lelaki usia 23 dianggap terlalu muda membangun keluarga.

Maka, menanggapi pernyataan di atas, sang perempuan mesti sabar. Sabar mendorong pacar sepantarannya untuk bekerja lebih giat, sabar menanti kejelasan kapan didatangi ke rumah demi meminta restu orang tua, juga sabar melihat teman sebaya lain yang pacaran dengan lelaki lebih ‘senior’ sudah berbahagia mengarungi bahtera rumah tangga.

Well, itu tadi masalah dan solusi seputar pacaran dengan yang sepantaran. Apabila kamu punya pendapat sendiri yang belum tertampung dalam posting ini, silakan tinggalkan jejak di kolom komentar. Terima kasih!
(IPM)

Bandung, September 2014 

Followers