Senyum Tuhan pada Seorang Bocah

January 07, 2015



 
Pernah membayangkan dilahirkan secara tidak beruntung ke dunia?
Pernah memikirkan bagaimana menjadi anak berusia dua tahun dan hidup di jalanan?

Aku pun tak pernah. Namun, saat Tuhan memposisikanku seperti ini, apa boleh buat, harus dijalani.
 
Jangan kamu pikir aku punya kesabaran seluas lautan. Jangan kamu kira tabah itu merupakan hal yang mudah. Semuanya susah, Kawan!

Bayangkan saja, saat kamu masih tertidur pulas di kasur empuk berselimut, aku berbaring beralaskan koran di depan ruko Kota Kembang. Berapa derajat suhu udara Bandung di jam tiga pagi? Air-Conditioner kamarmu mungkin tak sanggup mencapai dinginnya. Namun, tubuhku bisa bertahan, meski tanpa jaket ekstra.

Orang miskin tak boleh sakit, katanya. Awalnya lucu saat membaca kalimat itu. Akan tetapi, setelah kujalani rasanya benar juga.

Sehat saja sudah sengsara, apalagi sakit? Ya tinggal nunggu dipanggil.

Sehari kamu makan berapa kali? Wajarnya tiga, atau ada yang berlebih. Bagimu, ngemil, jajan tambahan, tidaklah termasuk katagori makan. “Makan ya makan, ada nasi, lauk-pauk, sayur, buah, dan susu,” ini katamu, yang senantiasa makan di meja oval beramai-ramai.

Kamu salah, arti makan bagiku adalah memasukkan sesuatu ke dalam mulut. Tak peduli rasanya tidak enak. Tak peduli bekas siapa sebelumnya. Tak peduli sedikit anyir, basi, atau kurang bersih.

Kamu tak takut sakit? Kan sudah kubilang, orang miskin tidak boleh sakit.

Berapa sih jumlah setelan baju yang kamu punya? Selusin, dua lusin, atau tak terhitung akibat saking banyaknya? Ah, kamu tak perlu repot-repot berpikir dan menghitungnya. Aku simpulkan pasti banyak.

Setiap bulan beli satu. Kalau ada diskon, cara marketer menarik consumer agar membeli dengan aji-aji penurunan harga dari biasanya, maka kamu akan membeli jauh lebih banyak. Tanganmu itu, sepertinya dua tidaklah cukup.

Sementara aku, hanya ada dua setel. Ini buat hari ini, lalu dicuci. Besok pakai yang satu lagi, kemudian dicuci. Pakaian hari sebelumnya kering, ya langsung dipakai lagi. Tanpa setrika, tanpa pelicin baju, tanpa parfum agar berbau wangi. Apa itu, Charlie White, Hugo Boss, Chanel, dan lain-lain? Aku tak tahu.

Karena merasa berkekurangan, maka aku mau-tak-mau ikut bekerja. Tenang, aku ikhlas melakukan ini. Tak pernah aku menghardik Tuhan sepertimu. Hidup ini dijalani, bukan dikeluhkan keadaannya.

Apakah hidup seperti ini akan selamanya?

Kalau jawabnya iya, pasti orang sepertiku, teman-temanku, orang tuaku sendiri, sudah mengakhiri hidupnya sedari lama. Tentu tidak, Bung!

Setiap yang di bawah akan menuju ke atas apabila berusaha. Dan, setiap yang di atas akan jatuh ke bawah bila tak waspada. Di sekolah formal kamu pasti diajari itu. Kalau kamu bilang ‘tidak’, artinya kamu tertidur saat guru menerangkannya.

Boleh bertukar posisi? Kamu tidur saja di waktu itu, sementara aku yang duduk mendengarkan gurumu mengajar.

Apa hiburanmu di setiap akhir pekan? Jalan-jalan ke mall, bookstore, wisata kuliner, kebun teh, puncak, serta lain-lain yang membayangkannya saja aku kesulitan. Imajinasiku tak sampai.

Sementara aku, tiap Sabtu-Minggu, berselang sejam-dua jam, aku akan berlari dengan riang menuju kolong Pasupati. Jembatan megah sebagai langit-langit rumah kami. Ada beberapa malaikat yang menghiburku di sela kesibukan mereka.

Ada malaikat berbaju kuning, mengajariku apa itu A-B-C-D-...-V-W-X-Y-Z. Aku baru tahu itu disebut alfabet akhir-akhir ini. Malaikat lain, berpakaian rapi, mendongengkan cerita binatang yang seakan-akan bisa berbicara, selayaknya aku. Kancil, Buaya, Semut, Merpati, serta... hewan lain, aku lupa.

Malaikat penghiburku berganti-ganti setiap minggunya. Entahlah, mungkin mereka lelah, jadi memilih mundur. Sementara yang lain, hanya ingin coba-coba bagaimana sehari menjadi malaikat dalam hidupnya.

Di akhir hiburan itu, para malaikat akan memberikan bingkisan kepadaku. Makanan ringan, alat tulis, buku bergaris, atau perkakas lain. Kamu pernah membayangkan jadi anak dua tahun dan menerima itu dari seseorang yang tak dikenalnya? Pasti bahagia!

Dengan riang, lantas aku berteriak, “Terima kasih, Malaikat! Terima kasih, Tuhan!”

Malamnya, aku kembali ke jalanan. Bermimpi buruk lagi. Dicaci manusia lain yang enggan membagi recehnya lagi. Atau, dengan muka sengak, mereka menghardik, “Kecil-kecil sudah kerja kayak gini ya! Apa tidak diajari ibunya untuk sekolah?”

Tolong beritahu kami caranya hidup seperti kalian!
***

Maaf, apabila sedari tadi aku terus membandingkan. Kalian benar! Kamilah yang salah! Kalian hebat! Kamilah pecundang!

Tapi, kalian pasti tahu perkara ini, “Apabila manusia sudah suka dengan sesuatu/seseorang, apapun pasti ia berikan, apalagi Tuhan?”

Tuhan tengah tersenyum saat aku menceritakan segalanya kepadamu. Jangan iri hati! Memangnya, kamu mau berada di posisiku saat ini?
(IPM)

Bandung, Januari 2015
#Ilustrasi diunduh dari sini

___
Cerita ini terinspirasi ketika penulis mengikuti KBB Anak Jalanan Dago-Cikapayang di kolong Pasupati, Bandung. Kami selalu terbuka bagi kalian yang ingin datang, mengetahui, berbagi senyum, merasakan, bagaimana kerasnya hidup di jalanan.

Tiap Minggu, pukul 15.30 WIB di bawah Pasupati. Kalau ada beberapa anak berkumpul dan bergembira, di sanalah kami berada.

Followers