Reaksi Ketika Patah Hati

May 08, 2015



Setelah beberapa minggu fokus ke bahasan tugas akhir, skripsi, dan seminar, akhirnya penulis butuh juga yang namanya ‘penyegaran’. Caranya? Sederhana, kalau enggak makan, ya baca buku. Dan, bersebab ingin santai sejenak, buku Koala Kumal-nya Radit menjadi pelampiasan.




Sekilas, buku ini ber-genre humor remaja biasa. Namun, kalau ditilik lebih lanjut, kisahnya mayoritas tentang percintaan yang dibumbui komedi-realita. Lebih spesifik, membahas CERITA PATAH HATI. Dari beberapa cerpen di sana, di bagian akhir buku, aku menemukan bagian yang menarik dari peristiwa patah hati. Apa itu? Penasaran? Silakan dibaca cuplikan tulisannya.
____

Seorang senior gue di SMA pernah bilang, patah hati itu seperti serial anime Dragon Ball. Setiap kali Son Goku, jagoannya, kalah dari musuhnya, dia akan kembali lagi jauh lebih kuat. Patah hati seharusnya seperti itu, dari setiap kekecewaan, kita akan makin kuat dalam menghadapi problem percintaan berikutnya.

Tapi kenyataannya, banyak orang yang sehabis patah hati malah jadi tambah galau. Mukanya tambah bengkok, bibirnya manyun ke dalam, matanya tambah bengkak. Orang kayak gini setiap mendung datang pasti nempelin muka ke jendela sambil terisak bilang, “Kenapa kamu jahat?”

Dalam perjalanan hidup sejauh ini, gue sering ngelihat orang patah hati. Ada teman gue, cewek, yang lagi makan Indomie di kampusnya, ditelepon oleh pacarnya. Dia diputusin lewat telepon. Saat itu juga, dia langsung pergi ke rumah mantannya. DI pinggir Jalan Rawamangun, Jakarta Timur, dia teriak-teriak sambil bawa botol sambal, “Kamu pasti akan menyesal! Kamu pasti akan menyesal!” Ya, saking buru-burunya pergi, sambal Indomie-nya juga terbawa.

Ada teman yang lain, cowok, sewaktu pacaran dia ngasih ceweknya laptop, bayarin keanggotaan Celebrity Fitness, bahkan sampai membelikan tas-tas mahal. Sewaktu mereka putus, si cowok ini minta semua barangnya dibalikin. Entah dendam atau pelit, gue gak ngerti.

Lain lagi tingkah teman gue, seorang cowok penulis skenario film layar lebar. Ketika putus, dia minta semua surat cinta yang dia tulis untuk pacarnya dibalikin. Gue sempat nanya ke dia, “Lo kenapa, sih, harus minta surat cinta yang lo kirimin itu?” Dia bilang dengan santai, “Supaya kalau gue punya gebetan baru, gue bisa ngasih dia surat cinta yang gue tulis itu. Tinggal namanya aja yang diganti.” Masuk akal.

Pito, teman SMA gue, adalah orang yang semasa SMA selalu ditolakin sama gebetannya. Bukannya sedih, dia malah menjadikan rasa pahit itu sebagai motivasi hidup. Gue ingat, pada suatu siang di kantin sekolah, Pito bilang ke gue, “Gue barusan ditolak sama Febby.”

“Dia bilang apa?” tanya gue sambil memakan ayam panggang. “Dia gak bilang apa-apa,” kata Pito. “Diam aja?” tanya gue, “Ya, baguslah, setidaknya dia gak ngomong apa-apa yang nyakitin.”

“Dia gak ngomong apa-apa, tapi dia ngasih gue cermin,” kata Pito. “Kayaknya gue disuruh ngaca. Gue disuruh sadar diri, bahwa gue gak pantes buat dia.”

“Buset. Itu sakit, sih,” kata gue. “Sakit banget,” Pito menghela napas panjang, sambil mengurut dadanya, “Lo tahu apa yang gue bakal lakuin?”

“Apa?”

“Gue bakalan sukses, Dik. Gue bakalan belajar keras, gue bakal masuk universitas bagus, dan gue bakal punya pekerjaan yang hebat. Gue bakal ngebuat semua cewek yang dulu nolak gue jadi menyesal. Gue pengen lima belas tahun lagi, sewaktu mereka lagi nonton TV, mereka bakal nemuin gue lagi diwawancara dan mereka bakal bilang, ‘Itu dulu cowok yang gue tolak, gue menyesal, gue mau mati aja, ah.’ Gitu, Dik.” Mata Pito berkaca-kaca dengan semangat tinggi.

“Mudah-mudahan aja berhasil, deh.” Pito mendengus mantap.

Lima belas tahun belum berlalu, tetapi Pito bisa dibilang sudah sukses. Dia sekarang menjadi manajer di sebuah perusahaan susu. Dia baru saja membayar down payment untuk rumah sendiri. Dia sudah menikah dan bahagia. Febby? Tidak ada yang tahu kabarnya sampai sekarang.

(Dikutip dari Koala Kumal hal 236-238, Raditya Dika)
____


Banyak reaksi yang timbul ketika patah hati. Sedih, pasti. Kecewa, apalagi. Namun, apa harus terus meratapi? Bagaimana kalau kamu memilih menjadi Pito saja, yang saat patah hati, justru bergerak memperbaiki diri?

Selalu ada pelajaran dari setiap ‘patah hati akibat seorang tercinta’. Apa itu? Kamu menjadi semakin dewasa.
(IPM)

Bandung, Mei 2015



#Ilustrasi diunduh dari satudua, tiga   

Followers