Jendela Kaca

April 28, 2018





Kamu masih memandang riuh ramai jalanan kota dari jendela kaca lantai sepuluh kamarmu. Kota yang punya sejarah kelam, perlawanan, serta beberapa saksi yang membuatmu bertanya, “Mengapa manusia bisa sekejam ini?”.

Matamu tak bisa diam, sejenak memperhati, tak lama berpindah ke lain sisi. Namun, satu yang pasti, kamu jatuh hati pada perilaku orang asing. Selayaknya, kamu sanggup membuat cerita tentang mereka.

Seorang anak kecil, kamu terka, merengek meminta sesuatu kepada ibunya. Terlihat sangat ingin, sampai-sampai air matanya tak terbendung. Entah tipuan, atau memang sungguh-sungguh, kamu tak mengerti. Hanya saja, anak kecil biasanya paling jujur ketimbang yang lain.

Gestur ibunya ialah menolak. Mungkin lebih tepatnya, “Jangan sekarang, Nak,” sebab setiap ibu, kamu yakini, pasti senantiasa memberi yang terbaik kepada putranya. Selang beberapa waktu, sang anak tetap memaksa, dan akhirnya mereka sepakat. Tidak jelas apa solusinya, hanya saja keduanya melanjutkan perjalanan, serta tidak ada lagi wajah memelas tanda tak dikabulkannya sebuah permintaan.

Tanganmu kini telah menggenggam secangkir Vietnamese lotus tea. Masih hangat, atau bahkan terlalu panas, hingga tiap satu tegukan, kamu harus lebih dulu meniupnya dua sampai tiga kali. Baru pukul tujuh, pungkasmu. Dan, perhatianmu berpindah dari anak itu, ke satu bangku di dekat dermaga kecil Saigon River. Dudukan besi yang dingin, yang tidak seorang pun berkenan singgah.

Kursi lusuh itu berada di sebelah sepasang muda-mudi yang kelelahan berolahraga. Saking letihnya, mereka lebih memilih untuk duduk di tanah. Sembari menarik napas panjang, kamu melihat ada sedikit perbincangan di sana. Mungkin tentang ketidakpuasan akan hidup. Barangkali juga mengenai topik ringan, misalnya, menu sarapan apa yang akan disantap, warna baju kantor apa yang akan dikenakan, atau ke mana akan berkelana menghabiskan akhir pekan.

Segala pertanyaan remeh-temeh, tetapi cukup menghabiskan energi. Bisa saja kamu mengabaikannya dengan menghadirkan pola. Betul, seperti Jobs yang hanya mengenakan turtleneck shirt warna hitam dan jeans, atau Zuckerberg dengan setelan grey T-shirt dan casual trousers. Orang super sibuk tidak sempat memikirkan hal itu.

Lamunanmu tetiba terpecah. Dering ponselmu keras, memaksa untuk segera diberi perhatian. Satu nama tersurat di sana, asmanya. Kulihat, kamu masih ragu mengangkatnya. “Ada apa lagi?” batinmu. Dan, benar saja, kamu diamkan panggilan itu hingga hilang.

Dia tidak mengulangi panggilannya. Tak ada nada lagi. Mungkin dia tahu, kamu sedang sangat sibuk. Atau, bisa juga dia mengerti, bahwa kamu memang sudah tak menginginkan dia lagi.
(IPM)

Ho Chi Minh City, 2018
#Ilustrasi diunduh dari sini

Followers